"Kira-kira berapa jam lagi kita akan sampai di sana?" tanya Marisa pada Pandu, yang duduk di bangku sopir.
"Satu atau dua jam lagi," sahut Pandu masih fokus pada jalanan yang lurus.
Marisa beralih pada Saka yang duduk di samping Pandu. Lelaki itu dalam posisi duduk dan kepala bersandar di kaca jendela.
"Kenapa duduk di depan kalau hanya tidur sepanjang perjalanan...," gumam Marisa.
"Aku dengar itu," ucap Saka.
"Kukira tidur," balas Marisa. "Satu jam lagi kita sampai. Mungkin kita bisa duduk-duduk di tepi pantai menikmati senja sebelum cari penginapan."
"Kamu anak senja?" tanya Saka.
"Hah? Bukan, aku bukan anak senja," sahut Marisa. "Aku suka warna langit pada waktu senja, tapi hanya itu saja. Aku tidak pernah membuat senja menjadi hal yang khusus, sehingga aku harus mengkultuskannya. Senja bagiku, biasa-biasa saja. Seperti halnya pagi, siang, malam."
Kedua temannya hanya mendengarkan, tanpa berkomentar. Atau sebenarnya mereka tidak mendengarkan? Entahlah. Laki-laki biasanya tidak suka kalau mendengar perempuan meracau.
Marisa kembali merebahkan tubuhnya di jok tengah. "Bangunkan aku kalau ada tempat bagus untuk foto, ya?"
"Foto berlatar senja?" tanya Saka.
"Iya. Untuk update status."
Terdengar tawa tertahan Pandu dan Saka.Â
"Awas ya, kalau kalian ikut-ikutan update status nanti," ucap Marisa.
--
"Icha, bangun, Cha! Senja tlah tiba!" teriak Saka. Perasaan baru dua menit mata Marisa tertutup. Ia sudah hendak mengomeli Saka ketika matanya menangkap warna jingga di langit barat.
"Uwiiih, bagus. Cari tempat, Ndu!"
"Kamu nggak nyadar kalau kita sudah berhenti sejak tadi?" tanya Saka.
Marisa noleh kanan kiri, ternyata mereka ada di sebuah rest area tepi pantai, dengan view laut dan langit senja. Ia buru-buru turun dari mobil.
"Foto aku, Saka!"
Berlarian ia menuju tepian tembok rest area. Matanya berbinar-binar. Â Saka tergelak. Ngakunya bukan anak senja tapi segirang itu melihat langit jingga? Ia turuti keinginan Marisa untuk difoto. Berkali-kali. Sampai meledak kamera hape, kata Marisa.
Tak lama Saka berlari mau ke toilet. Ia serahkan tongkat estafet pada Pandu yang sedari tadi berdiri diam menatap langit.
"Ini biasa-biasa?" tanyanya sambil merentangkan tangan menunjuk langit yang indah.
"Tentu tidak. Itu ciptaan Tuhan. Lukisan Tuhan yang maha kuasa. Tapi itu adalah senja yang sama dengan kemarin dan besok. Selalu akan ada senja di situ, dan di mana pun di langit barat dunia ini," ucap Marisa. "Foto lagi aku, Ndu!"
Pandu menerima ponsel yang diulurkan Marisa, dan mulai memotret. Setelah empat kutipan, ia menurunkan ponsel, berkata serius.
"Mau nggak kalau senja ini dan senja-senja ke depannya menjadi luar biasa buat kamu?"
"Hah? Maksud kamu apa? Bagaimana caranya?"
"Caranya dengan menjawab pertanyaanku. Icha, aku sayang kamu. Kamu mau jadi pacarku?" tanya Pandu sambil menatap Marisa lekat-lekat.
Marisa terperangah. Pandu benar. Senja, di mana pun, tak akan lagi menjadi senja yang biasa-biasa bagi Marisa.
"Sialan, kamu, Ndu," desis Marisa.
"Tak usah dijawab kalau ditolak, dan anggap aku tak pernah mengatakan apa-apa," ucap Pandu cepat, sambil menatap kembali lurus ke arah senja.
"Kamu serius?" tanya Marisa mendekat.
"Serius."
"Beri aku waktu untuk berpikir," ucap Marisa pelan. Paling tidak, beri waktu untuk meredakan debar di jantungku, batin Marisa. Mereka berdua diam. Berdiri bersisian, memandang langit senja yang semakin memerah.Â
Saka berdiri di kejauhan, menatap kedua sahabatnya dari belakang. Sepertinya ia terlambat. Ia selalu terlambat dibandingkan Pandu. Ia menggigit bibir, tertunduk merasa kalah.Â
Sejak saat itu, senja tak lagi sama untuk ketiganya.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H