Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Tidak Lolos Masuk Sekolah Favorit, Harus Bagaimana Sebagai Orangtua?

2 Juni 2023   06:00 Diperbarui: 2 Juni 2023   06:26 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendampingi tes hari pertama (sumber: Indah Novita Dewi)

Sepanjang pagi dan siang hari itu, Ahad 21 Mei 2023, saya mendampingi anak bungsu saya tes masuk di sebuah SMP berbasis Islam. Tidak banyak persiapan yang dilakukan, sebelumnya saya hanya memintanya untuk membaca kembali soal-soal ujian SDnya kemarin. Anak saya juga nothing to loose, dan juga tidak terlalu bersemangat sekali bisa lolos di SMP tersebut. Tapi saya tetap memintanya mengerjakan yang terbaik.

Usai mengerjakan tes, ia mengaku dapat mengerjakan dengan baik, walaupun ada juga soal yang dia tidak tahu jawabannya. Saya juga nothing to loose, walaupun SMP yang dituju tersebut termasuk SMP favorit. Pikir saya, kalau tak lolos mungkin memang bukan rezekinya.

Esoknya hari Senin ternyata ada lagi tes untuk basic keislaman. Kabarnya akan dites salat dan ngaji. Ternyata hanya dites bacaan salat dan membaca hafalan 3 surat pendek, serta mengaji random di Al Qur'an milik sekolah. Kata si bungsu, aman. Dia bisa semuanya. Kami tinggal menunggu kabar dari sekolah untuk pengumuman kelulusan tanggal 31 Mei 2023.

Tes hari kedua pengantar boleh masuk gerbang (Sumber: Indah Novita Dewi)
Tes hari kedua pengantar boleh masuk gerbang (Sumber: Indah Novita Dewi)

Hari yang ditunggu tiba, ternyata ada pesan masuk di ponsel papanya, mengabarkan bahwa Amel anak saya belum dapat diterima di sekolah tempatnya mendaftar kemarin.

Dia masih rebahan di kasur ketika papanya meminta saya untuk mengabarkan hal itu kepadanya.

"Mel, Amel belum lolos di SMP kemarin, Nak," ucap saya pelan sambil berbaring di sebelahnya.

"Apa, Ma?"

"Amel belum lolos. Nggak papa, ya? Nggak sedih, kan? Nanti kita cari sekolah lain."

"Eeeh ... gimana, ya? Aku merasa aneh, kok bisa nggak lulus, ya?"

"Amel nggak lulus bukan berarti Amel nggak pintar, Nak. Tapi kemarin yang mendaftar kan banyak sekali. Ada 500 pendaftar sedangkan yang diterima hanya 300. Berarti ada 200 anak yang tidak lulus seperti Amel."

Anak saya manggut-manggut.

"Coba tanyain temanmu apakah mereka lolos semua?" tanya saya karena saya tahu ada 4 teman SDnya yang mendaftar di SMP yang sama.

Ia segera menghubungi teman-temannya via whatsapp. Ternyata dari keempat temannya itu ada satu yang sama-sama tidak lolos. Saya lihat, anak saya yang memang bawaannya cuek bebek - semakin tenang. Mungkin karena merasa ada temannya.

---

Ketika beberapa hari kemudian saya menceritakan bahwa anak saya tidak lolos masuk di SMP tersebut, teman saya berkomentar.

"Sekolah di sana sudah terkenal, Mbak. Harus ada orang dalam. Bukan dalam arti harus mbayar, tapi pokoknya harus ada kenalan. Guru atau tenaga administrasi."

Ah, masak sih, seperti itu? Waktu papanya Amel saya infokan masalah tersebut, ia malah bersyukur Amel tidak diterima karena ia paling jengkel kalau ada nepotisme seperti itu.

Informasi dari teman membuat saya tercenung. Masak iya sebanyak 300 anak yang diterima semuanya karena ada koneksi? Sepertinya terlalu mengada-ada, ya? Lagipula rugilah sekolah yang hanya mengandalkan koneksi tapi tidak mendahulukan prestasi. Bisa saja kan 300 koneksi itu tidak ada yang cemerlang, sementara yang cemerlang tersingkir karena tidak ada koneksi. Rugi sungguh rugi.

Tapi saya juga tidak menelan info tersebut mentah-mentah. Bisa jadi memiliki kenalan orang dalam itu merupakan sebuah nilai tambah, namun tentunya prioritas utama adalah kecemerlangan seorang kandidat siswa. Soalnya kalau cuma gegara koneksi, ngapain juga pakai bikin tes masuk sampai dua hari.

Informasi harus pakai orang dalam ini sebenarnya merugikan sekolah itu sendiri. Ia sudah mendapatkan stigma buruk dari orang luar. Semoga saja informasinya tidak benar.

Saya lebih senang jika dari sekolah menyatakan bahwa anak saya tidak diterima karena nilainya memang kurang, bukan karena alasan tidak memiliki koneksi orang dalam, karena itu adalah alasan yang sangat membagongkan.

Baiklah anakku, jalan perjuangan masih panjang, mari kita cari sekolah lagi yang bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

---

"Nanti Amel sekolah di Ibnu Qoyyim saja, ya?" tanya saya setelah selang sehari pengumuman.

"Di mana itu?"

"Itu di belakangnya KFC. Nanti kalau mama jemput kita makan KFC dulu sebelum pulang."

"Juga bisa membungkus untuk kakak-kakak?" tanyanya.

"Iya."

Nina sulungku menyela, "Belum juga mendaftar sudah berencana macam-macam..."

"Wkwkwkw, iyaa, biar adikmu semangat sekolah di sana," jelas saya sambil tertawa.

---

Jadi kesimpulannya jika anak tidak lolos masuk ke sekolah favorit, sebagai orang tua tidak usah reaktif dan tidak usah berlebihan misalnya dalam mengungkapkan kekecewaan. Anak kita mungkin lebih kecewa dan dia perlu dihibur.

Orang tua harus tetap semangat dan riang mencari sekolah yang baru. Berikan fakta-fakta yang menarik untuk anak, tentang calon sekolahnya. Tetap berikan dukungan di setiap langkah anak-anak mencapai tujuan.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun