Melucu alias melawak itu susah, apalagi kalau memang tidak punya bakat melucu. Pernah ada adegan dalam film Spongebob, ia diminta memberi hiburan stand up comedy di depan orang-orang. Sampai keringatnya berjatuhan, ia tidak berhasil memancing tawa audiens. Perih, tentu, ya?
Demikian juga ketika diri diminta menulis sebuah kisah fiksi humor Ramadan, wadduuuh ... mau nulis apa? Tidak ada yang terpikirkan melintas di kepala. Seolah tak ada yang lucu dalam hidupku. Mau bikin real fiksi, otak stuck. It's better digging my own memories.Â
Ceritanya begini...
Selayaknya bocah kecil, dulu waktu saya kelas tiga SD, sudah mulai puasa tapi puasa bedug alias puasa yang berbukanya setelah adzan duhur berkumandang. Saya ingat merasa bangga dan penting kalau beraktivitas atau bermain dengan teman-teman sebaya di lingkungan rumah.Â
"Ini lho, aku puasa, lho," seolah-olah sambil membusungkan dada saya menyombong demikian. Soalnya di antara teman-teman sebaya, sayalah yang sudah belajar berpuasa, yang lain tidak.
Suatu ketika di hari Ahad, saya baru selesai mandi ketika tiga orang teman berkunjung ke rumah. Mereka ngajak main bersama. Waktu itu sekitar pukul sepuluh. Saya tentu saja dalam kondisi berpuasa.
Teman-teman bermain di rumah saya, dekat jajaran tanaman katu yang tumbuh di halaman dalam. Kan pohon katu kalau sudah tua, muncul bunga kecil-kecilnya yang cantik, serta ada juga yang muncul buahnya. Bunga dan buah katu itulah objek mainan kami, anak-anak cewek.
Anak yang paling besar namanya Ana, yang kedua namanya Linda, dan yang ketiga namanya Deni.Â
Sedang asyik bermain, Ana mengeluarkan permen mentos dari saku bajunya. Ia menawari Linda, menawari Deni, dan juga menawari saya. Linda dan Deni tentu saja langsung mengambil permen, sedangkan saya kan, berpuasa.
"Aku lagi puasa," geleng saya ketika Ana menyodorkan mentos tepat di depan hidung. Ia terlihat ragu-ragu, mentos masih dipegang oleh tangannya yang terkulai.
"Ini kan nggak makan. Puasa Ramadan kan batal kalau kita makan atau minum. Nah, ini kan cuma ngemut (mengulum) permen."
Geledek berbunyi di atas awan tepat saat Ana mengucapkan kalimat seperti: Puasa Ramadan tidak batal kalau kita cuma ngemut permen.
"Aah, nggak, ah...nggak boleh, tauu."
""Cuma ngemut boleh kalik mbak In," bujuk Ana lagi. Saya mulai galau. Mentos tidak berpindah. Masih ada di atas telapak tangan Ana, menggoda memanggil-manggil.
"Iya, nggak papa tuh," celetuk Linda dan Deni.Â
Ketiga teman-teman saya mendesak menyuruh saya membatalkan puasa. Apalagi menurut Ana, tidak batal puasa kalau hanya mengulum permen. Saya pun mengambil cepat mentos dan memasukkannya di mulut. Manis isis.
Jadilah puasa saya batal hari itu. Terima kasih untuk trio Ana-Linda-Deni yang sudah berkontribusi mendesak-desak saya ngemut permen.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H