Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

WFH, WFO, atau WFA, Pilih yang Mana?

14 Januari 2023   08:46 Diperbarui: 14 Januari 2023   13:40 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WFH, WFO, atau WFA, Pilih yang Mana? (Sumber: Pexels/Cottonbro Studio)

Bumi telah tua, zaman telah sungguh-sungguh berubah. Dahulu kala, manusia tidak bisa dibilang bekerja, jika tidak berada di tempat kerja. Manusia di zaman purba harus berburu untuk mendapatkan hewan buruan, petani harus datang ke sawah untuk menanam padi secara real, guru harus ke sekolah untuk bertemu langsung dengan murid-muridnya.

Zaman berkembang memberikan keleluasaan dan dunia maya yang serba menjanjikan. Jenis pekerjaan pun kini berkembang menjadi semakin banyak dan sebagian besar dapat dikerjakan hanya di dalam kamar yang sempit, asal ada gadget dan jaringan internet.

Datangnya pandemi di akhir 2019 yang kemudian bertahan hingga dua tahun, turut menjadi alasan sehingga beberapa pekerjaan lain yang bukan pekerjaan pelayanan publik, dapat dikerjakan secara online. 

Guru dan dosen bertemu murid dan mahasiswanya tanpa tatap muka secara langsung, melainkan bermodalkan zoom. 

Pegawai negeri sipil disarankan pula untuk Work From Home (WFH), terutama yang bisa melaksanakan pekerjaan dari rumah. Demikian pula pekerja kantoran di sektor swasta.

Kebijakan KemenLHK (Kementerian tempat saya bekerja) saat pandemi saat itu diserahkan penuh pada kepala-kepala satker, sesuai dengan kasus Covid-19 di kantor masing-masing. 

Selama pandemi, kalau saya tidak salah ingat, ada 6 rekan kerja yang dinyatakan positif covid dan dua di antaranya wafat karena memiliki penyakit bawaan.

Pada saat ada yang terinfeksi virus corona, kebijakan kepala balai kami adalah WFH seluruh pegawai, kecuali penjaga kantor. 

WFH ini bisa berjalan 1 - 2 minggu. Sedangkan pada saat tidak ada yang terinfeksi covid-19, dan masih suasana pandemi, balai kami mengeluarkan kebijakan untuk WFH 25 - 50% tergantung status covid di kota kami, kuning atau merah. Dengan demikian dalam sepekan biasa kami WFO dua hari, dan WFH tiga hari, atau sebaliknya.

Setelah mengalami masa-masa WFH dan WFO tentu saja saya merasakan ada enaknya dan ada nggak enaknya juga. Semuanya akan saya paparkan dalam artikel ini.

Work From Office (WFO)

WFO adalah sistem kerja konvensional. Semua orang yang mulai bekerja di tahun 2000-an ke bawah, pasti mengenal sistem WFO dan terbiasa dengan itu. Menganggap lumrah dan biasa saja, dan malah sudah seharusnya kita bekerja lima hari dalam sepekan. Malahan saya pernah mengalami bekerja enam hari dalam sepekan.

Menurut saya, WFO cukup menyenangkan. Bekerja mulai pagi 07.30 dan pulang 16.00, mengerjakan pekerjaan kantor dengan tenang, sambil berinteraksi dengan rekan kerja. Badan otomatis bergerak, bersemangat.

Memang kadang ada rasa-rasa malas datang, terutama jika pekerjaan datang menumpuk bersamaan, tidak tahu mana yang harus diselesaikan duluan. Saat rasa capai melanda, rasanya liburan dua hari dalam sepekan is not enough anymore. Rasanya saya sudah ingin libur mulai Jumat. Itulah mengapa sindrom TGIF (Thanks God It's Friday) dan I hate Monday menjadi quote yang sering diucapkan pekerja kantoran konvensional.

Di saat-saat seperti ini, saya merindukan WFH. Mungkin baik juga jika bekerja diselingi WFH satu hari saat hari Rabu. Atau pegawai dipersilakan memilih satu hari untuk WFH dalam satu pekan. Saya rasa itu bisa membuat pegawai lebih produktif.

Work From Home (WFH)

Opsi WFH diberikan pemerintah saat pandemi, sehingga pegawai kantoran merasakan rasanya bekerja dari rumah. Logically, event from home, we actually should work as usual. Harus kerja mulai 07.30, di depan laptop menyelesaikan laporan, mencari bahan-bahan pekerjaan di internet, atau melakukan aktivitas zoom untuk rapat, seminar, dan diskusi. Tapi apa yang sesungguhnya terjadi saat WFH?

Saya tidak akan menggeneralisir, mungkin pula hanya saya yang melakukannya. Saya tidak bersiap di depan laptop pukul 07.30. Pagi-pagi sebagai ibu rumah tangga tentu saja saya akan membersihkan rumah, lalu mumpung di rumah, saya masak untuk keluarga. Kadang sambil masak bisa disambi mendengarkan zoom seminar ini itu. Tapi apa iya substansi seminar nyantol di otak kalau dikerjakan tandem dengan mengiris bawang?

Bukannya lalu tidak bekerja sama sekali saat WFH. Ada beberapa tenggat pekerjaan yang tentunya tidak bisa diabaikan yang harus diselesaikan. Jika ada deadline seperti itu, biasanya saya akan mengerjakannya saat urusan pekerjaan rumah kelar. Bisa siang hari disambung malam. Tetap bekerja, bekerja secara WFH, tapi menggeser jam kerja.

Itulah hal yang kurang saya sukai saat WFH. Perasaan bersalah karena bekerja tidak optimal. Mungkin bisa diakali dengan menciptakan suasana kerja layaknya di kantor. Menyediakan meja kerja di rumah dan mendisiplinkan diri menyesuaikan dengan jam kantor. Beberapa rekan kerja setahu saya melakukannya. Tapi apalah daya emak-emak disuruh WFH, pasti tetap gatal mata melihat cucian piring menumpuk dan lantai kotor. Jadi menurut saya di samping rasa bersalah tadi, saya kurang cocok dengan sistem WFH terus menerus.

Work From Anywhere (WFA)

Siapa bilang opsinya hanya dua, WFO dan WFH? Sekarang ada juga WFA, Work from Anywhere. 

Pihak yang mempopulerkan WFA adalah teman-teman BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yaitu lembaga pemerintah yang memiliki tugas menyelenggarakan penelitian dan inovasi. Sejak dibentuk dan kemudian menampung migrasi ratusan peneliti dari kementerian, lembaga ini sudah memberikan kebijakan kepada pegawainya untuk WFA.

Hal ini dikarenakan BRIN tidak dapat menampung semua pegawai dari kementerian dan juga tidak bisa begitu saja memindahkan pegawai dari tempat asalnya ke lembaga-lembaga penelitian di bawah BRIN. 

Opsi WFA diberikan dengan syarat ketat, peneliti tetap absen secara online, dan bekerja pada hari-hari tertentu di CWS (Co-working space)/KKB (Kawasan Kerja Bersama) atau tempat yang telah ditunjuk BRIN menjadi semacam tempat kerja bersama untuk para pegawainya yang tersebar di penjuru nusantara.

Selain bekerja dari rumah, sistem WFA membolehkan pegawai BRIN bekerja dari kafe, dari hotel, dari rumah tetangga, pokoknya anywhere termasuk di CWS yang sudah ditunjuk. 

Syarat ketat lain tentu saja target kinerja untuk peneliti yang tinggi, misalnya menyusun proposal penelitian, melaksanakan penelitian dan menyusun jurnal internasional serta terlibat sebagai pemateri dalam seminar internasional setiap tahunnya untuk peneliti ahli madya.

WFH, WFO, atau WFA, Pilih yang Mana?

Dari ketiga opsi yang sudah saya jelaskan di atas, saya pilih yang mana? Setelah berpikir dan merenung sejenak, ternyata kalau harus memilih, saya tetap memilih WFO. Saya ternyata tetap manusia jadul a.k.a konvensional. Kalau boleh sih, WFO dan satu hari WFH dalam sepekan, hahaha.

WFO membuat saya setiap hari rajin bangun dan mandi pagi, memakai baju rapi dan bekerja di kantor. Bisa fokus menyelesaikan pekerjaan, tidak terdistraksi dengan pekerjaan rumah. Kalau pusing dengan pekerjaan bisa diskusi dengan rekan kerja. 

Tentu saja sebagai abdi negara, di atas pilihan-pilihan pribadi, saya harus patuh pada kebijakan yang telah digariskan pemerintah. 

Kalaupun di kemudian hari, kebijakan soal jam kerja berubah, sebagai abdi negara yang baik tetap akan berusaha menyesuaikan diri. Bekerja seoptimal mungkin menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggungjawab, baik WFH, WFO, maupun WFA.

Demikian. Kalau Anda milih yang mana?**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun