Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kelompok Tani Hutan Rakyat di Bulukumba, Butuh Suntikan Semangat

24 Desember 2022   00:35 Diperbarui: 3 Januari 2023   23:21 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi di lahan hutan rakyat campuran milik petani di Bulukumba (Dokumentasi pribadi)

Oleh: Indah Novita Dewi

(Penyuluh Kehutanan Ahli Madya)

Hutan rakyat secara umum

Berdasarkan kepemilikan, hutan terbagi menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan rakyat. 

Hutan negara adalah hutan yang berada di tanah yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan rakyat adalah hutan yang berada di atas tanah yang dibebani atas hak. Hutan rakyat sering disamakan dengan terminologi hutan milik.

Batasan hutan rakyat adalah luasannya minimal 0,25 hektare dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya mencapai lebih dari 50%. 

Dari berbagai sumber dapat diketahui sejarah hutan rakyat bermula sejak zaman pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930 yang mengembangkan hutan rakyat di Jawa. 

Setelah merdeka, pemerintah Indonesia melanjutkan program hutan rakyat melalui gerakan "Karang Kitri" pada tahun 1952. Selanjutnya mulai tahun 1960-an, hutan rakyat berkembang melalui program penghijauan.

Ditinjau dari pola pengelolaannya, hutan rakyat kemudian terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Hutan rakyat tradisional yaitu hutan yang dibangun oleh masyarakat sendiri tanpa campur tangan pemerintah.

2. Hutan rakyat inpres yang dibangun di tanah-tanah terlantar dan dibiayai oleh pemerintah.

Hutan rakyat tradisional meliputi bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang bervariasi dan bersifat lokal. Di Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, memiliki keragaman pola pengelolaan hutan rakyat yang dipengaruhi adat budaya setempat. 

Jenis tanaman yang ditanam pun tidak terbatas pada tanaman kayu, melainkan juga HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu). Hutan rakyat tradisional tersebut misalnya: hutan damar mata kucing di Krui, Lampung; hutan tanaman buah-buahan di Kutai Barat, talun di Jawa Barat; alas di Gunungkidul; dan kebun di Bulukumba.

Dilihat dari jenis tanaman yang diusahakan, hutan rakyat terbagi menjadi hutan rakyat monokultur (hanya terdiri dari satu jenis tanaman saja), seperti misalnya hutan jati di Gunungkidul dan hutan kemiri di Maros; hutan rakyat campuran yang terdiri dari campuran berbagai tanaman baik tanaman kayu, tanaman keras, MPTS, dan tanaman semusim. Hutan rakyat campuran ini biasa dikenal sebagai hutan dengan pola penanaman agroforestry (mencampurkan tanaman pertanian dan kehutanan).

Pada umumnya, hutan rakyat yang dikembangkan sendiri oleh masyarakat adalah hutan campuran dengan pola penanaman agroforestry. Dengan menanam menggunakan pola agroforestry, petani dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara berkelanjutan dengan memanfaatkan tanaman yang ditanamnya. 

Untuk kebutuhan jangka pendek, petani dapat memanen tanaman semusim dan sayur-sayuran; untuk kebutuhan jangka menengah, petani memanen tanaman buah-buahan dan tanaman keras; sedangkan untuk kebutuhan jangka panjang/tabungan, petani memanen kayu.

Hutan rakyat di Bulukumba

Hutan rakyat walaupun dikelola secara mandiri dan pribadi (karena merupakan hutan milik), namun juga dilakukan pengelolaan secara kelompok. 

Pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK membentuk KTH (Kelompok Tani Hutan) sebagai wadah petani yang memiliki lahan hutan rakyat, untuk bersama-sama mengelola hutan miliknya dan mendapatkan manfaat lebih sebagai KTH.

Dengan berkelompok dalam KTH, petani memperoleh kans lebih besar untuk diberikan insentif baik berupa sarana produksi maupun pendampingan/pelatihan.

Demikian juga dengan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba, terdiri dari KTH-KTH pengelola hutan yang didirikan mulai tahun 2003 - hingga 2021. 

Hutan rakyat di Bulukumba biasanya ditanami jati, mahoni, bitti. Bitti adalah kayu yang biasanya dipakai sebagai salah satu bahan pembuatan kapal karena Bulukumba terkenal sebagai kabupaten penghasil kapal pinisi. 

Namun sayang bahan baku pembuatan kapal belum dapat dipenuhi sendiri oleh Kabupaten Bulukumba dan masih harus mendatangkan dari daerah lain di Indonesia. Ini dapat dilihat sebagai peluang bagi petani hutan rakyat untuk terus menanam dan menghasilkan kayu terbaik yang layak dipasok ke industri.

KTH pengelola hutan rakyat di Bulukumba pernah mencapai masa kejayaan ketika banyak KTH dibentuk bahkan ada yang sudah mendirikan koperasi. Namun sayang saat UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diterbitkan, secara otomatis seluruh wewenang pengelolaan hutan diambil alih oleh pemerintah provinsi setelah sebelumnya dikerjakan oleh pemerintah kabupaten. 

Hal ini mengakibatkan sempat mandegnya pendampingan penyuluh di daerah. Di sisi lain, petani yang biasanya jika ada masalah cukup pergi ke kantor Dinas Kehutanan di kabupaten, merasa terlalu jauh jika harus pergi ke Dinas Kehutanan Provinsi. 

Mutasi beberapa pegawai termasuk penyuluh kehutanan pada saat itu, membuat petani juga bingung ke mana harus bertanya jika mengalami kesulitan terkait pengelolaan hutan.

Saat ini masa transisi yang terjadi akibat implementasi UU No 23 tahun 2014, sudah terlewati. Dinas Kehutanan Provinsi telah memiliki wakil-wakil yang berkantor dekat dengan masyarakat yaitu kantor KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan). 

Untuk Kabupaten Bulukumba termasuk ke dalam wilayah kerja KPH Bialo yang kantornya terletak di Kabupaten Bantaeng. 

Sedangkan tenaga penyuluh kehutanan yang bertugas menyuluh petani di Kabupaten Bulukumba hanyalah 3 orang saja untuk 10 kecamatan. Tentu hal ini menjadi salah satu faktor keterbatasan yang menyebabkan proses sosialisasi atau transfer ilmu dari penyuluh ke petani menjadi lambat.

Saat penulis berkesempatan melakukan kegiatan penilaian kinerja KTH di Kabupaten Bulukumba tahun 2022, kondisi KTH di Kabupaten Bulukumba belum optimal. 

Sebagian besar KTH tidak melakukan kegiatan kelompok secara rutin, kelengkapan administrasi kurang, dan ketergantungannya pada penyuluh sangat besar. Jika tidak ada penyuluh yang berkunjung dan memberikan arahan, sebagian KTH tidak melakukan kegiatan apa-apa.

Melihat kurang aktifnya sebagian besar KTH pengelola hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba, perlu adanya pendampingan penyuluh yang tidak hanya membantu pemenuhan syarat administrasi saja, melainkan juga mengajarkan semangat kemandirian agar walaupun belum ada penyuluh yang bisa datang, kelompok tetap dapat hidup dan aktif.

Karena sejatinya keberhasilan sebuah KTH bukan tergantung pada siapa penyuluh/pendampingnya atau siapa ketua KTHnya, namun pada komitmen, inisiatif, dan semangat dari seluruh anggota KTH.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun