"Mamak Nina! Ayo pergi ke rumah mamaknya Damar, kita makan kapurung sama-sama!" teriakan mamaknya Nurul, tetangga kami, terdengar nyaring di pagi jelang siang hari itu. Hari itu hari Minggu dan saya sedang mengaduk sayur di depan kompor.
Sayur yang masih setengah matang saya tinggal sebentar, saya mematikan kompor dan mengambil kerudung lalu pergi ke rumah mamaknya Damar. Di teras rumahnya, di atas meja di mana ada kursi-kursi melingkar, terletak satu baskom besar kapurung.
Bagi yang sudah pernah ke Sulawesi Selatan mungkin pernah mencicipi kapurung, ini masakan khas daerah Palopo, Sulawesi Selatan. Terdiri dari bulatan-bulatan sagu kenyal yang dicampurkan dengan kuah berisi aneka sayuran dan ikan. Rasa sagunya tawar saja, namun dimakan dengan sayur yang berbumbu aneka rempah termasuk campuran patikala dan cincangan mangga muda, rasanya segar, asam-gurih-lezat.
Beberapa ibu bergabung lalu makan bersama di teras rumah mamak Damar, tak terkecuali mamak Lea yang termasuk warga senior di kompleks perumahan kami. Senior dalam arti ia termasuk penghuni kompleks yang sudah lama, sedangkan mamak Damar dan mamak Nurul termasuk orang baru.
Mamak Lea duduk di sebelah saya sambil membawa mangkuknya sendiri. Senyum lebarnya tak pernah ketinggalan di wajahnya yang ayu.
"Mamak Lea, saya lihat pohon natal sudah berdiri di teras rumah, sudah siap sambut Natal, eh?" sapa saya.
Mamak Lea tertawa renyah, "Itu anak-anak yang bilang, taruh saja di luar pohon natal, Mak. Saya pikir ah terserah anak-anak saja. Mereka sekarang yang atur-atur rumah menjelang Natal. Tidak mengganggu ji, toh, buk?" tanya Mamak Lea.
"Tidak, nggak papa, waktu kapan saya lewat itu sempat saya lihat, cantik pohon natalnya," ucap saya tulus.
Mamak Lea tertawa semakin renyah. Lalu kami sama-sama khusyuk menyantap kapurung, sambil sesekali berbincang hal remeh dengan ibu-ibu yang lain.
Sungguh suasana kompleks yang benar-benar akrab, tanpa sekat, cair dalam canda, padahal kami ini berbeda. Mamak Damar orang Sunda, mamak Nurul orang Sumatra, saya orang Jawa, dan mamak Lea orang Toraja. Siang itu di teras rumah mamak Damar, kami sudah mengamalkan sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia.
Mamak Lea bukan satu-satunya penghuni kompleks yang beragama Kristen/Katolik. Kompleks kami ini kompleks perumahan besar, yang warganya heterogen. Namun, di lorong tempat saya tinggal, memang mamak Lea ini yang paling terkenal karena ia orang yang mudah bergaul dan rendah hati.
Sikapnya yang baik pada semua orang, membuat mamak Lea juga tidak pernah mengalami hambatan jika ia menyelenggarakan ibadah di rumahnya. Pada waktu-waktu tertentu, ia memang mengundang banyak orang untuk melakukan ibadah dan bernyanyi di rumahnya.
Kami para tetangganya yang mayoritas muslim, tidak merasa terganggu dengan kegiatan tersebut. Kalau dipikir-pikir, pada kesempatan yang lain, mamak Lea juga tidak masalah mendengarkan pengajian dari rumah tetangganya. Memang demikianlah hidup bertetangga, harus saling menjaga toleransi dan tidak bersikap sombong dan merasa paling benar sendiri.
Satu kuncinya dalam hidup bertetangga adalah tak usah melihat agama tetanggamu, pandanglah ia sebagai manusia sesama makhluk Tuhan yang harus diperlakukan dengan sama adil. Contohnya saat kompleks kami kebanjiran dan air masuk hingga sebetis ke dalam rumah November kemarin, Bu RT tanpa pandang bulu mendata semua nama-nama warga RT-nya, untuk memperoleh bantuan korban banjir.
Saya pun pergi ke pos RT untuk mengambil beras dan telur, sumbangan dari jamaah masjid kompleks. Tak terkecuali mamak Lea, yang datang bersamaan dengan saya. Ia mendapatkan beras dan telur dengan jumlah yang sama, dan iapun tidak ragu menerima bantuan dari masjid.
Sama konteksnya dengan bantuan korban gempa yang diberikan oleh gereja, sebenarnya. Gereja pun tak memilih-milih hanya membantu jamaahnya. Bukankah gempa dan banjir adalah sama-sama bencana kemanusiaan? Tidak datang dan memilih-milih korbannya khusus hanya yang beragama Islam saja, misalnya. Demikian pula bantuan, dari manapun asalnya seharusnya dianggap sebagai bantuan dalam konteks kemanusiaan bukan dalam konteks agama walaupun diberikan oleh simbol-simbol agama seperti masjid dan gereja.
Simbol-simbol keagamaan tidak akan melukai kita atau memurtadkan kita selama kita sudah mengimani agama yang kita pilih dengan baik. Seperti pertanyaan mamak Lea tentang pohon natal yang ia letakkan di teras rumah dan dapat dilihat setiap orang yang lalu lalang.
Apakah tidak mengganggu?
Tentu saja tidak. Toh, ia meletakkan di teras rumahnya sendiri dan bukan di lapangan kompleks. Justru pohon natal itu adalah sarana mengenalkan anak-anak pada entitas agama lain di sekitarnya. Saya malah ingin membawa anak saya berkunjung dan melihat-lihat pohon natal itu. Mengajari mereka tentang toleransi beragama, moderasi beragama, yang selama ini hanya mereka baca di buku cetak pelajaran PKN.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H