Mamak Lea bukan satu-satunya penghuni kompleks yang beragama Kristen/Katolik. Kompleks kami ini kompleks perumahan besar, yang warganya heterogen. Namun, di lorong tempat saya tinggal, memang mamak Lea ini yang paling terkenal karena ia orang yang mudah bergaul dan rendah hati.
Sikapnya yang baik pada semua orang, membuat mamak Lea juga tidak pernah mengalami hambatan jika ia menyelenggarakan ibadah di rumahnya. Pada waktu-waktu tertentu, ia memang mengundang banyak orang untuk melakukan ibadah dan bernyanyi di rumahnya.
Kami para tetangganya yang mayoritas muslim, tidak merasa terganggu dengan kegiatan tersebut. Kalau dipikir-pikir, pada kesempatan yang lain, mamak Lea juga tidak masalah mendengarkan pengajian dari rumah tetangganya. Memang demikianlah hidup bertetangga, harus saling menjaga toleransi dan tidak bersikap sombong dan merasa paling benar sendiri.
Satu kuncinya dalam hidup bertetangga adalah tak usah melihat agama tetanggamu, pandanglah ia sebagai manusia sesama makhluk Tuhan yang harus diperlakukan dengan sama adil. Contohnya saat kompleks kami kebanjiran dan air masuk hingga sebetis ke dalam rumah November kemarin, Bu RT tanpa pandang bulu mendata semua nama-nama warga RT-nya, untuk memperoleh bantuan korban banjir.
Saya pun pergi ke pos RT untuk mengambil beras dan telur, sumbangan dari jamaah masjid kompleks. Tak terkecuali mamak Lea, yang datang bersamaan dengan saya. Ia mendapatkan beras dan telur dengan jumlah yang sama, dan iapun tidak ragu menerima bantuan dari masjid.
Sama konteksnya dengan bantuan korban gempa yang diberikan oleh gereja, sebenarnya. Gereja pun tak memilih-milih hanya membantu jamaahnya. Bukankah gempa dan banjir adalah sama-sama bencana kemanusiaan? Tidak datang dan memilih-milih korbannya khusus hanya yang beragama Islam saja, misalnya. Demikian pula bantuan, dari manapun asalnya seharusnya dianggap sebagai bantuan dalam konteks kemanusiaan bukan dalam konteks agama walaupun diberikan oleh simbol-simbol agama seperti masjid dan gereja.
Simbol-simbol keagamaan tidak akan melukai kita atau memurtadkan kita selama kita sudah mengimani agama yang kita pilih dengan baik. Seperti pertanyaan mamak Lea tentang pohon natal yang ia letakkan di teras rumah dan dapat dilihat setiap orang yang lalu lalang.
Apakah tidak mengganggu?
Tentu saja tidak. Toh, ia meletakkan di teras rumahnya sendiri dan bukan di lapangan kompleks. Justru pohon natal itu adalah sarana mengenalkan anak-anak pada entitas agama lain di sekitarnya. Saya malah ingin membawa anak saya berkunjung dan melihat-lihat pohon natal itu. Mengajari mereka tentang toleransi beragama, moderasi beragama, yang selama ini hanya mereka baca di buku cetak pelajaran PKN.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H