Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pengalaman Masa Kecil: Tinggal di Pulau Garam, Madura

3 Desember 2022   09:16 Diperbarui: 3 Desember 2022   09:22 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulau Garam, Madura, Provinsi Jawa Timur yang terpisah dari Pulau Jawa (sumber: wikipedia)

Tahun 1984 saat saya berusia 8 menginjak 9 tahun, keluarga kami harus pindah dari Kota Semarang tempat kelahiran saya, ke kota terujung Pulau Madura, Sumenep! Moving dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, tentu akan mengakibatkan gegar budaya walau tipis-tipis - meski sejatinya bagi kedua orang tua saya, ini merupakan langkah pertama kembali pulang ke kampung halaman setelah mengabdi di Semarang selama 12 tahun.

Ayah saya lahir dan besar di beberapa kota di Jawa Timur seputar Lamongan, Jombang, dan Kediri. Demikian juga ibu saya lahir dan besar di Lamongan, Bojonegoro, dan Malang. Tentunya semua kota-kota yang saya sebutkan itu terletak di Pulau Jawa, yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa (dengan berbagai dialek). Pasti berbeda nyata dengan Pulau Garam yang totally penduduknya berbahasa Madura. Wow, bagaimana saya akan berkomunikasi dengan teman-teman baru nanti?

Moving atau rolling jabatan adalah sebuah keniscayaan bagi ayah saya yang seorang TNI-ABRI. Jadi pindah adalah hal yang harus kami nikmati sebagai satu anugerah. Nggak semua orang punya kesempatan pindah dan melihat kota lain, bukan? Walau tentu saja ada kesedihan meninggalkan kehidupan yang sudah settle di tempat sebelumnya. Saya akan kehilangan sahabat-sahabat kecil saya di SD!

Kepindahan ini juga merupakan pertama kalinya keluarga saya akan bercerai-berai. Kakak pertama akan ditinggal di Semarang karena ia sudah kuliah di Universitas Diponegoro. Kedua kakak laki-laki saya akan tinggal dan sekolah di Malang, di rumah kakek. Hanya kami berempat - ayah, ibu, saya dan kakak perempuan termuda - keluarga inti yang akan pindah ke Sumenep, ditambah adik dari nenek yang biasa saya panggil Mbah Nah.

Setelah menempuh perjalanan panjang melalui darat dan singgah di Kota Malang selama dua hari, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Madura. Kali ini perjalanan menggunakan dua kendaraan karena Pak dhe dan beberapa kerabat ikut mengantar dan membantu membawa barang-barang. Sungguh repot dan riweuh untuk anak kecil seperti saya, untungnya karena masih kecil, cukup tahu beres saja.

Tak makan waktu lama setelah tiba di Sumenep dan memasuki rumah baru - sebuah rumah dinas - tiba masanya saya harus sekolah. Ayah sudah mendaftarkan saya di sebuah SD Negeri yaitu SDN Kolor. Hari pertama saya masuk, sudah lewat dari jam masuk sekolah. Saya diantar ke kelas 4 dan duduk di sebelah seorang anak laki-laki. Saya masih ingat waktu itu senyap karena semua sedang mengerjakan ulangan Matematika.

SDN Kolor, Sumenep. Dulu belum bertingkat. (Sumber: Pict WA Group)
SDN Kolor, Sumenep. Dulu belum bertingkat. (Sumber: Pict WA Group)

Saya duduk diam dan dalam kesenyapan, beberapa murid kelas 4 dalam ruangan itu kadang menoleh memandangi saya yang rupanya sangat menarik perhatian mereka. Saya seperti alien yang baru mendarat dari pesawat luar angkasa. Dalam hati, saya dag-dig-dug juga mengira-ngira bagaimana penerimaan mereka nanti. Apakah mereka akan menerima saya dengan baik?

Kekhawatiran saya menjadi tak beralasan ketika waktu istirahat tiba. Bahkan sangat di luar ekspektasi saya, teman-teman baru saya luar biasa ramah. Mereka mengajak saya bermain dan bertanya banyak hal. Mereka langsung membuat saya merasa diterima menjadi bagian dari mereka.

Dalam menjalani hari-hari saya di kelas 4 kemudian, yang menjadi kendala saya hanyalah perbedaan bahasa. Bahasa Madura sangat berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga membuat saya kesulitan di mata pelajaran Bahasa Daerah. Pada catur wulan pertama, saya mendapatkan nilai Bahasa Daerah yang sangat buruk di rapor sekolah. Syukurnya kemampuan mempelajari bahasa baru dari seorang anak itu luar biasa, sehingga di catur wulan berikutnya nilai saya naik secara signifikan.

Pembaca mungkin sebagian tidak paham apa itu catur wulan? Untuk kaum jadul pasti paham. Catur wulan adalah masa penilaian hasil pembelajaran selama 4 bulan yang ditulis dalam rapor. Sekarang kita hanya mengenal dua kali pencatatan nilai rapor yang dilakukan per enam bulan sekali yang kita sebut semester.

Kehidupan di sekolah berjalan semakin baik, namun rupanya ayah saya kembali mengalami rolling. Saya hanya sempat menghabiskan masa sekolah saya hanya di kelas 4 saja di SDN Kolor. Kami harus pindah lagi ke sebuah kota di Jawa Timur yaitu Sidoarjo, dan bersiap mengalami petualangan baru di sana.

Selama masa sekolah di SDN Kolor, ada seorang guru yang saya sayang dan hormati yaitu ibu Trisnawati, wali kelas 4. Beliau masih muda dan cantik. Bu Tris mengajar Bahasa Indonesia dan jika kami ada tugas mengarang, Bu Tris akan berdiri di sebelah saya dan membaca karangan saya jika saya sudah selesai menulisnya. Saya masih ingat saya pernah menulis mengenai masa kepindahan saya dari Semarang ke Sumenep dan memberi judul yang unik yaitu: "Dan Tiga Hari Kemudian Kami Pun Pindah." Karangan itu menceritakan tiga hari terakhir kami tinggal di Semarang.

Bu Trisnawati kadang pulang jalan kaki dan saya pernah berjalan bersama beliau saat saya tidak dijemput. Beliau akan mengajak saya bercakap-cakap di sepanjang jalan, lalu saya akan berhenti lebih dulu di sebuah lapangan tenis tertutup karena ayah saya menunggu saya di sana sambil berolahraga tenis. Saya pun berpamitan, dan Bu Tris meneruskan langkahnya.

Kenangan indah di Sumenep tak akan terlupa (Sumber: Pexels/Anastasiya Lobanovskaya)
Kenangan indah di Sumenep tak akan terlupa (Sumber: Pexels/Anastasiya Lobanovskaya)

Bu Tris juga pernah memanggil saya saat istirahat di sekolah. Beliau menyuruh saya mendekat karena akan membisiki saya. Kata Bu Tris, "Vita, roknya dipanjangin sedikit, ya?"

Rupanya rok sekolah saya terlalu pendek. Saya malu dan ngomel-ngomel saat pulang sekolah, meminta ibu saya membelikan rok. Ibu saya hanya tertawa karena menurut beliau saya lucu dengan rok pendek, tapi beliau berjanji akan membelikan rok yang agak panjang. Anehnya saya waktu itu sama sekali tidak merasa kalau rok saya kependekan. Cuek sekali.

Bu Trisnawati adalah orang yang paling ingin saya jumpai setelah saya dewasa. Namun sungguh saya sesali saya tidak 'mencari' beliau dengan serius dan lebih awal. Saat saya terhubung dengan teman-teman kelas 4 di SDN Kolor melalui WA group sekitar tahun 2021, saya menanyakan tentang Bu Tris namun mendapatkan jawaban bahwa beliau telah tiada. Semoga semua amal kebaikan beliau semasa hidup, dapat menjadi jalan untuk beliau masuk ke dalam surga-Nya, aamiin.

Ayah sempat balik lagi ke Sumenep untuk bertugas di kantor yang sama (Kodim 0827) saat saya sudah duduk di bangku SMA, namun saat itu saya tidak lagi mengikuti orang tua pindah melainkan tinggal dan sekolah di Malang di rumah kakek dan hanya ke Sumenep jika liburan. 

Masih banyak cerita lucu, manis, haru, menyenangkan, maupun menjengkelkan selama tinggal di Sumenep. Secara keseluruhan jika diingat-ingat sekarang, itu adalah penggalan kehidupan yang sangat manis dalam hidup saya.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun