Tahun 1984 saat saya berusia 8 menginjak 9 tahun, keluarga kami harus pindah dari Kota Semarang tempat kelahiran saya, ke kota terujung Pulau Madura, Sumenep! Moving dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, tentu akan mengakibatkan gegar budaya walau tipis-tipis - meski sejatinya bagi kedua orang tua saya, ini merupakan langkah pertama kembali pulang ke kampung halaman setelah mengabdi di Semarang selama 12 tahun.
Ayah saya lahir dan besar di beberapa kota di Jawa Timur seputar Lamongan, Jombang, dan Kediri. Demikian juga ibu saya lahir dan besar di Lamongan, Bojonegoro, dan Malang. Tentunya semua kota-kota yang saya sebutkan itu terletak di Pulau Jawa, yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa (dengan berbagai dialek). Pasti berbeda nyata dengan Pulau Garam yang totally penduduknya berbahasa Madura. Wow, bagaimana saya akan berkomunikasi dengan teman-teman baru nanti?
Moving atau rolling jabatan adalah sebuah keniscayaan bagi ayah saya yang seorang TNI-ABRI. Jadi pindah adalah hal yang harus kami nikmati sebagai satu anugerah. Nggak semua orang punya kesempatan pindah dan melihat kota lain, bukan? Walau tentu saja ada kesedihan meninggalkan kehidupan yang sudah settle di tempat sebelumnya. Saya akan kehilangan sahabat-sahabat kecil saya di SD!
Kepindahan ini juga merupakan pertama kalinya keluarga saya akan bercerai-berai. Kakak pertama akan ditinggal di Semarang karena ia sudah kuliah di Universitas Diponegoro. Kedua kakak laki-laki saya akan tinggal dan sekolah di Malang, di rumah kakek. Hanya kami berempat - ayah, ibu, saya dan kakak perempuan termuda - keluarga inti yang akan pindah ke Sumenep, ditambah adik dari nenek yang biasa saya panggil Mbah Nah.
Setelah menempuh perjalanan panjang melalui darat dan singgah di Kota Malang selama dua hari, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Madura. Kali ini perjalanan menggunakan dua kendaraan karena Pak dhe dan beberapa kerabat ikut mengantar dan membantu membawa barang-barang. Sungguh repot dan riweuh untuk anak kecil seperti saya, untungnya karena masih kecil, cukup tahu beres saja.
Tak makan waktu lama setelah tiba di Sumenep dan memasuki rumah baru - sebuah rumah dinas - tiba masanya saya harus sekolah. Ayah sudah mendaftarkan saya di sebuah SD Negeri yaitu SDN Kolor. Hari pertama saya masuk, sudah lewat dari jam masuk sekolah. Saya diantar ke kelas 4 dan duduk di sebelah seorang anak laki-laki. Saya masih ingat waktu itu senyap karena semua sedang mengerjakan ulangan Matematika.
Saya duduk diam dan dalam kesenyapan, beberapa murid kelas 4 dalam ruangan itu kadang menoleh memandangi saya yang rupanya sangat menarik perhatian mereka. Saya seperti alien yang baru mendarat dari pesawat luar angkasa. Dalam hati, saya dag-dig-dug juga mengira-ngira bagaimana penerimaan mereka nanti. Apakah mereka akan menerima saya dengan baik?
Kekhawatiran saya menjadi tak beralasan ketika waktu istirahat tiba. Bahkan sangat di luar ekspektasi saya, teman-teman baru saya luar biasa ramah. Mereka mengajak saya bermain dan bertanya banyak hal. Mereka langsung membuat saya merasa diterima menjadi bagian dari mereka.
Dalam menjalani hari-hari saya di kelas 4 kemudian, yang menjadi kendala saya hanyalah perbedaan bahasa. Bahasa Madura sangat berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga membuat saya kesulitan di mata pelajaran Bahasa Daerah. Pada catur wulan pertama, saya mendapatkan nilai Bahasa Daerah yang sangat buruk di rapor sekolah. Syukurnya kemampuan mempelajari bahasa baru dari seorang anak itu luar biasa, sehingga di catur wulan berikutnya nilai saya naik secara signifikan.