Jelang akhir tahun sudah jamak jika musim pun bergeser ke musim penghujan. Hampir tiap hari hujan di Makassar khususnya siang hingga sore hari. Tak terkecuali hari ini, Kamis, 10 November 2022, tepat saat anak negeri memperingati Hari Pahlawan.
Pagi-pagi matahari masih bersinar cerah, sehingga upacara bendera dapat dilangsungkan dengan khidmat. Usai upacara di halaman kantor Balai Diklat LHK, kami kembali ke kantor dan bekerja seperti biasa.
Mendung baru terlihat menggantung usai zuhur, sehingga saya buru-buru izin meninggalkan kantor untuk menjemput bungsu. Sesampai di sekolah bungsu, saya menunggu beberapa menit dan hujan turun deras pukul 14.30. Saya menunggu di dalam gedung sekolah selama 15 menit hingga bungsu keluar pukul 14.45.
Hujan sudah agak reda tatkala kami berjalan berimpitan dalam satu payung menyusuri jalan menuju jalan poros. Singgah ke Indomaret sebentar membeli kudapan, lalu balik kantor dulu menunggu jam pulang.
Pukul 16.15 setelah selesai absen online, saya mengajak bungsu pulang dengan mengendarai Gocar. Anehnya belum sampai ke depan kompleks perumahan, driver belok kanan masuk ke perumahan lain. Saya pun protes, "Kenapa lewat sini?"
"Ini diarahkan oleh aplikasinya ke sini," sahut pak Sopir tanpa penjelasan lain.
Dia nurut untuk lewat depan kompleks perumahan saya saja, jadi dia putar balik lalu masuk ke kompleks perumahan saya. Baru sekitar dua ratus meter driver ragu. Saya pun baru ngeh bahwa jalan poros kompleks perumahan saya sudah terendam air.
Awalnya driver masih bersedia maju, karena saya dengan pedenya bilang banjirnya pendek saja, di depan paling sudah kering. Namun kemudian mobil di depan kami semua balik kanan, mundur dari medan perjuangan banjir.
Kendaraan yang saya tumpangi berhenti total. Drivernya bilang, "Makanya tadi diarahkan lewat perumahan Taman Sudiang, Bu," sesalnya karena saya tidak mau lewat perumahan yang tadi.
Saya paham situasi, lalu memutuskan turun karena sudah kepalang basah. Saat itu hujan juga tinggal gerimis saja. Tak apalah jalan kaki walau rumah masih jauh, mungkin sekitar 500 meter lagi. "Saya turun di sini saja, Pak."
Bungsu saya suruh membuka sepatunya dan memasukkan sepatu ke dalam kantong plastik. Saya kebetulan tiap pulang kantor tidak memakai sepatu, hanya kaus kaki dan sandal. Jadi bungsu saya suruh pakai sandal saya, sementara saya hanya berkaus kaki.
Plung! Kaki langsung basah begitu saya turun dari kendaraan menuju genangan. Anak saya nurut dan begitu ia turun langsung saya rangkul dan kami jalan pelan-pelan mengarungi genangan sambil masih berpayung.Â
Luar biasa! Walaupun secara faktual ini adalah musibah, namun ada satu sisi kanak-kanak yang riang karena berkesempatan main hujan.
Saya wanti-wanti ke anak saya untuk tetap jalan di tengah, karena jika ke pinggir berbahaya. Got-got di pinggir jalan tidak terlihat sama sekali!
Satu-dua kendaraan nekad melintas dan tiap ada yang melintas, maka laju kendaraan menyebabkan gelombang air membasahi sampai ke paha. Saya memeluk anak saya dan diam di tempat setiap ada mobil melintas.
Di sisi lain jalan (jalan poros perumahan kami terdiri dari dua jalur), ada kendaraan pick up air galon yang nekad maju terus, tapi kemudian entah mengapa dia mogok saat hendak balik kanan.Â
Beberapa anak remaja yang sengaja hujan-hujanan mendekat dan membantu mendorong pick up itu. Saat itu saya menyuruh anak saya untuk diam sebentar sementara saya mencari ponsel di dalam tas. Sempat-sempatnya, ya?
Saya mengambil beberapa gambar mengabadikan banjir sore tadi. Anak saya juga saya suruh berdiri di pinggir jalan untuk saya abadikan.
Hujan tinggal rintiknya saja, anak saya berjalan duluan dengan payung, dan saya mengikutinya dari belakang. Sampai di belokan lorong ke rumah kami, rupanya portal lorong diturunkan.Â
Di perempatan ada beberapa warga kompleks termasuk bu RT sedang memantau. Mereka memberi informasi pada kendaraan yang mau lewat untuk balik kanan saja karena di arah depan genangan semakin dalam.
Setelah menyapa dan bercakap-cakap dengan bu RT sebentar, saya dibantu salah satu tetangga saya melewati pinggir portal.Â
Ini bahaya juga karena jika mundur sedikit saja, sisi kanan dan kiri portal sudah masuk got yang tak terlihat lagi batasnya. Alhamdulillah setelah melewati portal masuk ke blok E, air sudah tinggal semata kaki dan surut tepat di depan rumah kami.
Setelah perjalanan yang heroik dan menegangkan, kami sampai rumah. Saya tahu si bungsu justru senang, karena sempat saya tanyakan saat kami masih berada di genangan banjir tadi.
"Kamu senang kan, bisa berhujan-hujan?"
"Iya, sudah lama sekali kayaknya," ucapnya girang. Dulu memang pernah kami izinkan dia hujan-hujanan.Â
Ya, sekali atau dua kali dalam hidup, anak-anak memang harus diizinkan hujan-hujanan, agar dapat dikenang sepanjang masa. Supaya mereka tidak terlalu merasa bernasib malang, jika harus kehujanan suatu saat kelak.
"Sepertinya aku tidak bisa sekolah besok, kalau banjir begini," ucap bungsu modus.
"Ah, hujan dan banjir seperti ini biasanya cepat surut, kok," balas saya yakin, sekalian berdoa.
Hujan masih akan hadir besok, karena ini musimnya. Kita harus tetap waspada, menyiasati berbagai kemungkinan. Dan juga tak lupa, bahwa di balik sederas-derasnya hujan dan ancaman musibah, ada berkah karena mustajabnya doa-doa yang dipanjatkan saat hujan.
Allahumma shayyiban nafi'an. Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang bermanfaat. Aamiin.**
Makassar, 10 November 2022.Â
*Selamat Hari Pahlawan*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI