Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepak Bola yang Menyatukan, Namun Kadang Memisahkan, Tergantung Siapa Lawannya

3 Oktober 2022   20:34 Diperbarui: 3 Oktober 2022   20:40 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tragedi Kanjuruhan

Saya merenungi topik pilihan K kali ini, mengenai tragedi yang masih hangat di tanah air. Meninggalnya ratusan orang akibat kerusuhan usai menonton pertandingan sepakbola antara Arema dan Persebaya di stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Malang.

Kemarin saya sempat berbincang melalui whatsapp dengan seorang sahabat kompasianer, saya bilang ... mungkin saya tidak akan menulis tentang ini, karena hati saya rasanya semedhot. Entah benar tidak penggunaan katanya, semedhot saya artikan sedih sampai rasanya habis hati ini.

Bagaimana tidak, sebagai orang yang dibesarkan di Kota Malang, saya memiliki keterikatan dengan kota tersebut. Walaupun bukan fans berat Singo Edan, saya merasa memiliki keterikatan dengan orang-orang yang menjadi korban itu. Nama-nama tempat yang dilaporkan sebagai tempat tinggal korban, sangat familiar buat saya.

Mendengar kematian ratusan orang sekaligus di sana, rasanya seperti kehilangan saudara. Apalagi berita yang saya baca dibagikan langsung dari grup-grup almamater. Ada teman yang kehilangan tiga keponakannya sekaligus, ada teman yang tetangganya pergi menonton bola sekeluarga (orangtua dan tiga anaknya), dan hanya menyisakan ayah dan anak bungsunya yang hidup, ada pula berita pasutri yang meninggal dunia, meninggalkan putra semata wayang mereka.

Bayangkan, pergi menonton bola yang niatnya adalah hiburan sekeluarga, adik kita harus menerima kenyataan menjadi yatim piatu dalam semalam. 

Tidak kuat rasa hati saya, memandangi gambar-gambar yang dibagikan di grup, dengan air mata mengucur. 

Sepak Bola yang Menyatukan dan Memisahkan

Malam ini saya memutuskan untuk ikut menulis sekadar urun rembug, walau sederhana berdasarkan pikiran emak-emak, semoga dapat memberikan sedikit manfaat buat yang berkepentingan. 

Masih saya ingat benar, ketika entah dalam pertandingan apa, tim sepak bola Indonesia bertanding melawan tim Malaysia. Rasanya seperti sedang perang kemerdekaan. Seluruh penonton Indonesia bersatu padu, kompak seperti isi sila ketiga Pancasila.

Jika kemenangan ada di tangan tim Indonesia, maka kebahagiaan berjamaah tampak di setiap status medsos warga +62. Ceria, meriah, riang gembira.

Jika kekalahan yang harus kita alami, kompak mencaci maki tim lawan. Terutama karena Malaysia memang entah bagaimana sudah menjadi frenemy Indonesia dalam berbagai bidang (ingat klaim reog dan sengketa pulau Sipadan Ligitan).

Sepak bola menyatukan kita bangsa Indonesia, tatkala kita memiliki musuh yang sama.

Hal yang berbeda terjadi justru ketika kita bertarung dengan 'saudara' sendiri. Contoh saat Arema dan Persebaya bertemu di lapangan. Bahkan stigma 'musuh bebuyutan' telah diberikan pada dua tim tersebut. Secara latar belakang budaya, memang daerah asal kedua klub ini (Malang dan Surabaya) adalah daerah yang orang-orangnya dikenal terbuka, ceplas-ceplos, dan sekaligus tinggi harga dirinya. 

Bertemunya dua 'saudara' di lapangan ini, justru rentan tepercik api emosi. Apalagi kalau sudah ejek-ejekan, saling elu-elukan jagonya sendiri. Bisa jadi supporter panas dan memantik hal yang tak diinginkan.

Kekalahan - yang sebetulnya adalah hal biasa dalam sebuah pertandingan - tidak dapat diterima dengan lapang dada. Kenapa bisa kalah? Itulah pertanyaan yang ditanyakan oleh sebagian supporter Arema tatkala timnya kalah. Konon itulah kenapa mereka turun ke lapangan 'hanya' untuk menanyakan hal itu - yang berbuntut keributan, chaos, dan jatuhnya korban.

Belajar Arti Sportivitas

Saya menemukan definisi kata sportif yang sangat menarik dari google. "Sportif merupakan kesadaran yang selalu melekat, bahwa lawan bertanding adalah kawan bertanding yang diikat oleh persaudaraan olahraga. Sportif merupakan sikap mental yang menunjukkan martabat ksatria pada olahraga."

Saya yakin, untuk level atlet atau pemain olah raganya sendiri, paham bahwa kalah dan menang itu hal biasa dalam sebuah pertandingan. Banyak faktor yang menyebabkan kalah atau menang. Mungkin kondisi fisik para atlet, durasi latihan, hingga cuaca saat pertandingan dilangsungkan.

Sudah lazim dalam setiap pertandingan olah raga, atlet yang bertanding akan saling bersalaman pada awal pertandingan, demikian juga di akhir pertandingan. Namun bagaimana dengan suporter?

Ini adalah peer bagi komunitas-komunitas pecinta olah raga, khususnya sepak bola. Bagaimana menanamkan jiwa sportivitas dan dapat menganggap bahwa berbeda tim kebanggaan itu biasa. Bahwa tim lawan adalah kawan yang diikat dalam persaudaraan olah raga.

Boleh jadi jika FIFA mengeluarkan sanksi berat untuk sepak bola Indonesia, ini adalah saat untuk berdiam dan kontemplasi. Baik untuk panitia penyelenggara, suporter, maupun pihak pengamanan pertandingan. Jika tidak rela dengan sanksi dilarangnya pertandingan sepak bola di Indonesia, seharusnya paham bahwa kerusuhan tidak akan membawa kebaikan sedikitpun. Maka perbuatan sekecil apapun yang sekiranya dapat memancing kerusuhan harus diminimalisir.

Ya, berbicara itu memang mudah. Praktiknya tak semudah membalik telapak tangan, di tengah habit yang telah mendarah daging. Namun walaupun sulit, bukannya tidak mungkin selama kita memiliki niat baik.

Jadi mari jadikan momentum ini, untuk mengubah kita menjadi bangsa yang lebih baik lagi. Tidak usah saling menunjuk siapa yang salah, melainkan berbenah diri mulai dari diri sendiri.

Kelak jika kita sudah bisa nonton bola lagi, ingatlah nyawa ratusan orang yang melayang dalam tragedi Kanjuruhan. Jika ada sedikit saja empati dalam diri, maka tahanlah perilaku agar dapat menjadi lebih santun dan bermartabat.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun