Saya merenungi topik pilihan K kali ini, mengenai tragedi yang masih hangat di tanah air. Meninggalnya ratusan orang akibat kerusuhan usai menonton pertandingan sepakbola antara Arema dan Persebaya di stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Malang.
Kemarin saya sempat berbincang melalui whatsapp dengan seorang sahabat kompasianer, saya bilang ... mungkin saya tidak akan menulis tentang ini, karena hati saya rasanya semedhot. Entah benar tidak penggunaan katanya, semedhot saya artikan sedih sampai rasanya habis hati ini.
Bagaimana tidak, sebagai orang yang dibesarkan di Kota Malang, saya memiliki keterikatan dengan kota tersebut. Walaupun bukan fans berat Singo Edan, saya merasa memiliki keterikatan dengan orang-orang yang menjadi korban itu. Nama-nama tempat yang dilaporkan sebagai tempat tinggal korban, sangat familiar buat saya.
Mendengar kematian ratusan orang sekaligus di sana, rasanya seperti kehilangan saudara. Apalagi berita yang saya baca dibagikan langsung dari grup-grup almamater. Ada teman yang kehilangan tiga keponakannya sekaligus, ada teman yang tetangganya pergi menonton bola sekeluarga (orangtua dan tiga anaknya), dan hanya menyisakan ayah dan anak bungsunya yang hidup, ada pula berita pasutri yang meninggal dunia, meninggalkan putra semata wayang mereka.
Bayangkan, pergi menonton bola yang niatnya adalah hiburan sekeluarga, adik kita harus menerima kenyataan menjadi yatim piatu dalam semalam.Â
Tidak kuat rasa hati saya, memandangi gambar-gambar yang dibagikan di grup, dengan air mata mengucur.Â
Sepak Bola yang Menyatukan dan Memisahkan
Malam ini saya memutuskan untuk ikut menulis sekadar urun rembug, walau sederhana berdasarkan pikiran emak-emak, semoga dapat memberikan sedikit manfaat buat yang berkepentingan.Â
Masih saya ingat benar, ketika entah dalam pertandingan apa, tim sepak bola Indonesia bertanding melawan tim Malaysia. Rasanya seperti sedang perang kemerdekaan. Seluruh penonton Indonesia bersatu padu, kompak seperti isi sila ketiga Pancasila.