Pak ustadz ini namanya sulit dilafalkan dan diingat oleh penduduk kampung, karena kebiasaan ustadz yang suka berselawat setiap saat, maka orang2 memanggilnya ustadz selawat.
Setiap selesai salat, ustadz berselawat, juga jika ia berjalan di keramaian pasar bibirnya tak henti bergerak. Ustadz juga menyembuhkan orang dengan cara membacakan selawat.
Sesuai gaya Arafat Nur dalam menulis novel, ia menyelipkan humor-humor sehingga pembaca merasa terhibur. Bagaimana ia menggambarkan riuhnya pertelon yang merupakan titik pusat kehidupan kampung dengan suara musik dari bengkel yang selalu meneriakkan lagu dangdut dan iklan membesarkan kelamin.Â
Sambil menceritakan kehidupan penduduk kampung, Arafat akan memixkan dengan suara musik yang sedang terdengar.
Misalnya saat Daiman, preman sekaligus dukun memasuki warung makan, Sandrina meneriakkan (lagu) "Jijik" dari bengkel. Unik dan lucu caranya bercerita.
Satu percakapan remeh dan lucu dari seorang penjual pakaian dalam dan calon pembeli (halaman 40) sebagai berikut:
"Kenapa mahal?"
"Ini merek terkenal. Tidak murahan seperti punyamu yang bolong di bagian pantat."
"Yang kubeli kemarin juga merek ini, tapi cepat bolong!"
"Salahmu sendiri, kenapa banyak duduk!"
"Masa sih aku pakai sempak harus berdiri terus?!"
Dialog retjeh itu membuat saya terbahak, dan banyak dialog macam ini yang bikin senyum-senyum sendiri.
Kehadiran ustadz selawat memberikan warna tersendiri di kampung kecil yang bernama Parengan, dengan pusat kehidupannya di Pertelon (pertigaan). Gadis-gadis Parengan yang cantik dan berkulit putih serta senang mengenakan rok mini atau celana pendek, mulai rajin salat berjamaah di masjid.Â
Awalnya rajin salat karena tertarik pada ustadz selawat yang berwajah tampan. Namun setelah menyadari bahwa tak satupun gadis Parengan menarik hati ustadz, para gadis itu tak lagi berharap banyak. Meski demikian mereka tetap memenuhi masjid saat mendirikan salat wajib.
Ustadz selawat hanya tertarik dengan seorang gadis buta dan kumal di Parengan, yang bernama Narsih.Â