Pertama kali keluarga kami berinteraksi dengan kucing adalah ketika seekor kucing berbulu putih tiba-tiba sering datang ke rumah, mengeong-ngeong. Waktu itu mungkin sekitar tahun 2018-an.
Kucing itu tidak manja dan tidak memaksa tinggal di dalam rumah. Ia hanya datang dan melalui sorot matanya mengatakan bahwa ia lapar. Lalu kami memberinya makan.
Anak-anak suka karena ia termasuk kucing liar yang lumayan bersih, dengan bulu dominan putih, dan bagian mukanya belang hitam. Ia adalah kucing yang cukup menarik. Anak-anak menamainya Moci.
Anak-anak ingin memeliharanya, tapi saya menolak. Bukan saja karena sepertinya Moci pun enggan tinggal di rumah kami (ia selalu pergi setelah makan), namun karena saya menduga Moci menderita penyakit dalam yang sulit disembuhkan.
Kenapa saya menduga demikian, karena bau mulut Moci busuk sekali. Akhirnya karena makin hari makin bau, saya jarang membiarkannya masuk rumah, dan hanya memberinya makan di luar rumah.
Mungkin sekitar tiga bulanan atau lebih, Moci selalu ada di sekitar. Ia sering datang (untuk minta makan), namun juga sering tak terlihat.
Suatu ketika ia datang dengan membawa kucing betina berwarna abu-abu, dan seekor kucing kecil berwarna hitam yang kakinya pincang.Â
Dengan semena-mena kami langsung menduga dan memutuskan bahwa kucing betina itu adalah istri Moci, lalu kami namai Mica. Namun anak kucing berwarna hitam itu belum sempat kami namai, karena setelah hari itu si hitam tak pernah terlihat, sedangkan Mica menjadi pengunjung tetap rumah kami - menggantikan Moci.
Tak lama setelah Moci membawa Mica dan anaknya ke rumah (seolah mengenalkan keluarga kecilnya dan memberikan pesan, tolong urusi keluargaku setelah aku pergi), Moci menghilang selama dua hari.
Pada hari kedua, tetangga kami berteriak memberitahukan ada kucing mati di halaman sebuah rumah kosong - tak jauh dari rumah kami. Ternyata kucing itu adalah Moci. Tentu saja kami sedih sekali. Entah sudah berapa lama Moci mati.
Kata tetangga pada saya, "Sering saya lihat kucing putih ini di rumah ibu, itu kucingnya Emir, kan?" tanyanya menyebut nama anak kedua saya.
"Ya, itu Moci," angguk saya. Biarlah dalam akhir hidupnya, Moci kami akui sebagai binatang peliharaan kami.Â
Suami mengubur mayat Moci di halaman belakang rumah kosong tersebut.
Esoknya dan esoknya lagi dan esok esoknya lagi, sebagai pengganti Moci, Mica selalu datang ke rumah meminta makanan.Â
Tidak seperti Moci yang penyayang dan penurut, Mica ini kucing betina yang galak. Ia hanya mau diberi makan, tapi tidak mau dipegang. Kalau dipegang ia akan menyergah dan mencakar. Dengan sendirinya, ia tidak bisa dijadikan hewan peliharaan. Ia datang dan pergi sesuka hati.Â
Mica sering sekali datang dalam keadaan mengandung, lalu menghilang dalam waktu lama, lalu muncul lagi dengan perut langsing. Entahlah ia melahirkan di mana. Anak-anak kucingnya pun tak tampak.
Kami selalu menerima Mica setiap ia datang dan sebisa mungkin selalu memberinya makanan. Kehadiran Mica selalu membuat kami ingat pada Moci, kucing yang mati tanpa sempat benar-benar kami pelihara dengan baik. Rest in peace, Moci. Semoga engkau bahagia di alam sana, aamiin.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H