Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Cara Merespons Teguran? Endapkan, Pahami, dan Berterimakasihlah

22 Mei 2022   11:30 Diperbarui: 22 Mei 2022   11:31 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bagaimana Cara Merespons Teguran? (Sumber: Pixabay/Jan Vasek)

Teman saya (A) berkeluh-kesah tentang status-status whatsapp yang ditulis B, teman saya yang lain.  A menganggap status B selalu negatif,  membuat orang lain tidak semangat dan terpengaruh pikiran buruk.

Waktu itu saya hanya tertawa kecil dan menyarankan agar A tak membaca status-status B yang telah membuat moodnya ambyar. Tak usah dibaca. Fokus saja pada status yang mencerahkan, memotivasi dan membuat kita jadi lebih baik.

"Ini tak bisa dibiarkan. Kalau B selalu membuat status seperti itu, aku nggak bisa tinggal diam," kata A.

Saya diam saja tak lagi berkata-kata. Saya pikir, A tak serius dengan ucapannya.

Hingga suatu saat A bercerita bahwa ia baru saja adu argumen dengan B melalui chat whatsapp.

"Aku menegur status B yang selalu childish dan penuh kekesalan," demikian cerita A.

"Lalu apa reaksinya?" tanya saya.

"B bertahan pada kengeyelannya. B resisten. Dan paling buruknya lagi, B memblokirku!"

Saya tak tahan untuk tidak tertawa. Ya, mungkin maksud A baik, tapi tetap dapat dikatakan cari-cari masalah. Mengganggu macan tidur. Memprotes sebuah status yang notabene ditulis di akun B sendiri. Saya pikir setiap orang berhak menulis apapun di statusnya, kan?

"Tidak, Mbak," A menolak pendapat saya. "Status B itu terbaca orang lain. Jadi B bisa mempengaruhi orang lain untuk berpikir senegatif dirinya. Kebiasaan buruknya itu harus dihentikan. Dan harus ada yang mengatakannya. Aku yang tidak tahan, menjadi orang pertama yang menegurnya. Biar B tahu apa yang dirasakan orang lain saat membaca statusnya yang negatif," demikian A berapi-api mengutarakan pendapatnya.

"Tapi kan B tidak dapat melihat niat baikmu? Dia menganggap kamu menyerang dia," ucap saya.

"Itu urusan B. Yang penting saya sudah berusaha. Saya sudah mengungkapkan apa yang saya anggap benar. Terima kasih B sudah memblokir nomor saya. Saya tak perlu melakukannya untuk mengenyahkan status2 buruk B dari pandangan," cengir A.

Saya tersenyum. Salut pada keberanian A. Kalau saya cenderung lebih baik memghindar. Lebih baik tidak membaca status buruk. Sudah tau buruk ya abaikan saja. Itu kalau saya. 

Apakah pilihan bersikap saya ini salah, saya tidak tahu. Prinsip saya kalau bisa berinteraksi dengan aman, kenapa harus bersitegang? Kecuali kalau apa yang dilakukan B sudah di luar batas. Saya melihat statusnya hanya berupa curhatan kekesalan, sedangkan A melihatnya lebih dari itu.

Tapi kemudian saya terpikir bagaimana dengan B sendiri? Bagaimana B seharusnya merespons sebuah teguran atau kritik?

Menurut saya dalam merespons sebuah teguran, ia tidak perlu terlalu reaktif. Langsung marah...langsung tersinggung...langsung blokir.


Walaupun suatu teguran membuat darah mendidih dan bergejolak, kita tetap harus meluangkan waktu untuk cooling down.

Mencoba melihat persoalan dengan kepala jernih. Tanpa pretensi dan tanpa melibatkan perasaan alias gausah baper. Telaah kebenaran dari sebuah teguran. Rendah hati untuk instrospeksi ke dalam diri...apakah memang ada keburukan yang harus diminimalisir.

Setelah mengendapkan semua informasi dan memahami esensi teguran, baru bereaksi. Apakah teguran itu baik...atau memang teguran itu kurang ajar dan tak perlu didengarkan?

Bagaimanapun sebuah teguran yang dialamatkan pada kita dari seseorang, adalah wujud dari kepedulian orang tersebut. Kalau nggak peduli, buat apa susah2 menegur. Cuekin saja. Biarin saja berkubang dalam kenegatifan.

Jadi...terima atau tidak terima, berterimakasihlah sudah diberi teguran. Semakin pahit teguran atau kritik, artinya semakin peduli   orang lain terhadapmu. Jadikan sebagai cambuk instropeksi diri.

Namun jika semua teguran dianggap sebagai upaya konfrontasi dan merupakan alarm genderang perang...itu terpulang pada diri sendiri. Karakter keras kalau sudah mengakar...susah untuk diperbaiki. Hanya ingatlah selalu...jangan menjadi orang yang selalu merasa benar. Karena manusia itu sebenarnya tempatnya salah. 

Orang yang selalu merasa benar adalah orang bodoh dan bebal. Ia tidak mau menerima masukan. Ia tidak mau menerima kenyataan. Ia hidup dalam dunia khayalan di mana ia raja paling benar. Orang lain tidak ada yang benar.

Hati-hati jangan sampai kita menjadi orang yang seperti itu. Dan semoga Allah menjauhkan kita semua dari sikap sedemikian.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun