Terus terang sebelum menerima berita belasungkawa tentang suami Mbak Fe, sedari pagi saya gabut. Gegoleran doang di kasur. Kadang nangis kadang bengong...karena lebaran ini tidak mudik. Iya, sereceh itu kesedihan saya sepanjang pagi tadi.
Saya seolah ditampar keras dengan berita meninggalnya suami Mbak Fe. Seolah ada yang berteriak keras di telinga saya sambil menoyor kepala saya.
"Hei bangun kamu yang merasa paling malang sedunia!"
"Banyak orang lebih menderita. Jangan lebay hanya karena gagal mudik."
"Masih ada suamimu di sisimu. Perhatikan tuh suamimu. Walaupun kadang menjengkelkan tapi dialah yang pertama akan mengulurkan tangan jika kau menjerit minta pertolongan."
"Bersyukurlah masih diberi waktu untuk dapat bercengkrama dengan suami dan anak-anakmu. Hargai setiap waktumu."
"Tunjukkan kasih sayangmu, agar tidak menyesal kelak. Karena maut datang tanpa mengetuk pintu."
Airmata luruh membasahi pipi saya. Malu karena telah lalai menghitung anugerah dari Allah SWT. Karunia-Nya begitu besar, pantaskah saya harus protes dengan keadaan yang sebenarnya baik-baik saja?
Seiring dengan gema takbir berkumandang, dari lubuk hati terdalam, saya kirimkan doa untuk jiwa muda yang baru meninggalkan dunia. Saya doakan juga agar istri dan anak yang ditinggalkan selalu diberikan kekuatan dan ketabahan dalam melanjutkan kehidupan.
Laa hawla wa laa quwata ilaa billah...**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H