Siang ini saya mendapat berita belasungkawa tentang meninggalnya menantu dari eks teman kantor. Menantu salah satu teman - sebut saja Pak Ha - meninggal dunia karena lakalantas yang terjadi di awal Ramadan.
Saya tidak kenal menantu pak Ha. Tapi tentu saja kenal baik dengan pak Ha dan putrinya yang sedang berduka. Bahkan dulu saya hadir saat putri pak Ha menikah dengan almarhum. Kebetulan saya saat itu sedang berada di Jogja, kota tempat kediaman pak Ha dan keluarga beberapa tahun terakhir.
Mbak Fe, putri sulung pak Ha yang tengah berduka itu, adalah kesayangan ayahnya. Masih saya ingat pak Ha mengundang saya dan teman-teman makan di sebuah restoran di Jogja, saat Mbak Fe lulus kuliah S1. Pancaran bangga dan bahagia jelas tercetak di wajah pak Ha.
Saya dapat membayangkan duka di wajah pak Ha, saat hati putri sulungnya hancur sekarang ini.
Mbak Fe sendiri saya saksikan tumbuh menjadi gadis yang manja, namun kemudian bertransformasi menjadi istri yang baik dan ibu dari dua anak yang lucu-lucu. Berita berpulangnya sang suami, membuat saya ikut bersedih sekaligus menyadari bahwa Mbak Fe adalah perempuan yang kuat.
Selama Ramadan dia harus kuat dan tabah mendampingi suaminya yang sakit. Dan saat jelang lebaran justru sang kekasih hati pergi dan tak akan kembali. Hal ini tentu sangat memukul perasaan dan melemahkan hati.
Saya doakan Mbak Fe kuat menghadapi cobaan ini.
Umur adalah rahasia Allah. Tak ada jaminan umat Nabi Muhammad akan hidup di dunia sama dengan usia nabi, 63 tahun. Bisa lebih bisa juga kurang. Seperti suami Mbak Fe yang baru menginjak awal tiga puluhan.
Setelah ini, Mbak Fe harus kuat menjalani hidup sebagai orangtua tunggal dengan dua anak. Saya teringat beberapa tahun yang lalu sahabat saya mengalami hal yang sama. Suaminya meninggal meninggalkan tiga anak. Sahabat saya banting tulang berusaha eksis menghidupi ketiga anaknya.
Bayangan perempuan-perempuan bermental baja yang ditinggal suaminya itu membuat saya tersadar. Penderitaan dan perjuangan mereka sangat berat. Sudah seharusnya saya malu.Â
Terus terang sebelum menerima berita belasungkawa tentang suami Mbak Fe, sedari pagi saya gabut. Gegoleran doang di kasur. Kadang nangis kadang bengong...karena lebaran ini tidak mudik. Iya, sereceh itu kesedihan saya sepanjang pagi tadi.
Saya seolah ditampar keras dengan berita meninggalnya suami Mbak Fe. Seolah ada yang berteriak keras di telinga saya sambil menoyor kepala saya.
"Hei bangun kamu yang merasa paling malang sedunia!"
"Banyak orang lebih menderita. Jangan lebay hanya karena gagal mudik."
"Masih ada suamimu di sisimu. Perhatikan tuh suamimu. Walaupun kadang menjengkelkan tapi dialah yang pertama akan mengulurkan tangan jika kau menjerit minta pertolongan."
"Bersyukurlah masih diberi waktu untuk dapat bercengkrama dengan suami dan anak-anakmu. Hargai setiap waktumu."
"Tunjukkan kasih sayangmu, agar tidak menyesal kelak. Karena maut datang tanpa mengetuk pintu."
Airmata luruh membasahi pipi saya. Malu karena telah lalai menghitung anugerah dari Allah SWT. Karunia-Nya begitu besar, pantaskah saya harus protes dengan keadaan yang sebenarnya baik-baik saja?
Seiring dengan gema takbir berkumandang, dari lubuk hati terdalam, saya kirimkan doa untuk jiwa muda yang baru meninggalkan dunia. Saya doakan juga agar istri dan anak yang ditinggalkan selalu diberikan kekuatan dan ketabahan dalam melanjutkan kehidupan.
Laa hawla wa laa quwata ilaa billah...**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI