Berbicara mengenai fasilitas kesehatan, saya jadi teringat belasan tahun lalu saat saya tinggal di Jogja.Â
Saya dan suami sebenarnya pemegang KTP Makassar, namun pada tahun 2010, kami harus hijrah ke Jogja untuk menjalani tugas belajar.Â
Karena tugas belajarnya berdua, tentu saja anak-anak kami boyong semua untuk ikut pindah ke Jogja.Â
Dua anak sempat kami titip ke orangtua saya di Malang, namun rutin dikunjungi minimal seminggu sekali.
Terus terang saja, sebelumnya kami jarang sekali menggunakan fasilitas BPJS, terutama untuk dokter anak-anak. Semua anak kami jika sakit, kami bawa ke dokter spesialis anak. Bukan flexing ya ini.Â
Mungkin karena anak pertama kami menderita penyakit langka dan kemudian meninggal dunia, jadinya dokter spesialis anak adalah sebuah keharusan untuk adik-adiknya. Kalau perlu, kami cari dokter spesialis anak yang paling mahal. Waduh flexing lagi... gaya banget padahal hanya ASN yang gajinya belum bisa dipakai liburan ke Bali, hehe.
Nah, kembali ke cerita saat kami di Jogja, saat itu posisi kami punya 3 anak -setelah anak pertama wafat.Â
Pada saat tinggal di Jogja itulah, anak kedua kami terdeteksi memiliki keterlambatan tumbuh kembang di usia yang ke 2,5 tahun.Â
Panik? Ya, pastilah. Pengetahuan saya dan suami mengenai keterlambatan tumbuh kembang bisa dibilang nol. Tapi kami melihat bahwa Emir memang beda dibandingkan anak seumurnya.Â
Kami abaikan orang-orang yang bilang, "Aah, itu biasa ... setiap anak kan beda-beda, nanti dia juga bisa bicara pada waktunya."
Terserah kau bilang seperti itu, Rodolfo. Ini anak kami. Yang tanggung jawab kalau kenapa-kenapa, ya kami. Bukan kamu. Ngapain kami mengabaikan intuisi kami sebagai orangtua, dan mendengarkan ocehan receh dari orang yang hanya melihat anak kami sekilas.
Hei, kami yang mendampingi dia setiap hari, Mukidi.
Jadi kondisi Emir waktu itu, suka melihat roda yang berputar dengan intensitas yang tidak biasa; belum bisa bicara dengan lancar kecuali hanya ujung-ujung kata; lebih sering menunjuk-nunjuk barang saat ingin sesuatu dan tidak mengatakannya; cenderung sulit berinteraksi - hanya saya dan papanya yang bisa 'pegang' dia.
Singkat cerita kami membawa Emir terapi secara rutin. Pilihan tempat terapi waktu itu adalah di poli rehabilitasi medik RS dr Sardjito Jogja. Emir harus terapi dengan jadwal tiga kali seminggu. Yang nantinya berkurang menjadi dua kali seminggu, lalu sekali seminggu, dan selesai.
Terapi tumbuh kembang itu dapat kami pilih apakah menggunakan fasilitas umum atau BPJS. Saya lupa berapa biayanya kalau umum. Yang jelas pengeluarannya akan sangat lumayan jika memakai fasilitas umum dan harus rutin tiga kali seminggu terapi.
Jadi kemudian suami saya memutuskan untuk memakai BPJS.Â
Tidak antre?
Ouh, Marimar ... di mana ceritanya BPJS tidak antre? Tentu saja antre donk. Jadi kami pakai taktik, di pagi hari suami berangkat naik motor duluan untuk daftar dan antre.
Saya menyusul sekitar satu jam setelahnya bersama anak, naik angkot. Kadang saat suami masih di rumah sakit dan saya masih di rumah, suami kirim SMS...dapat antrean nomor sekian. Lalu kami prediksi jam berapa tiba giliran Emir. Kadang prediksi kami tidak tepat, jadi masih harus menunggu antrean berjam-jam.
Wah, kalau saya ingat, sungguh perjuangan yang luar biasa untuk ukuran kami. Apalagi anak tidak selalu anteng dan kooperatif saat harus menunggu. Namun di ruang tunggu poli rehabilitasi medik tersebut, kami belajar apa artinya sabar.
Belasan orangtua, dengan kondisi anak yang sebagian besar lebih parah dari anak kami, duduk dengan sabar menjalani rutinitas terapi tumbuh kembang.
Saat itu di berita-berita yang beredar maupun di medsos, banyak yang komplain BPJS, namun bagi kami BPJS sudah sangat membantu terapi Emir. Berapa juta yang bisa kami hemat kalau dihitung-hitung, karena Emir menjalani terapi selama enam bulan penuh - kalau saya tak salah ingat. Antara enam bulan sampai setahunlah kira-kira. Selanjutnya saya melakukan terapi sendiri di rumah.
Pengalaman BPJS kedua kali terjadi ketika putri bungsu kami ternyata juga mengalami keterlambatan tumbuh kembang.Â
Berbeda dengan kondisi Emir, putri kami justru cerewet banyak omong. Tapi kata-katanya tanpa makna. Bila diajak bicara, pertanyaan A jawaban B alias gak nyambung. Dia juga agak hyperaktif. Itu pada saat dia berusia 4 tahun.
Memang kami agak telat menyadarinya karena si kecil sempat kami titip lama di rumah orangtua saya. Jadilah ia menjalani terapi tumbuh kembang juga di RS dr Sardjito.Â
Walaupun saat Amel kami terapi si Rodolfo yang tadi kembali melancarkan kata-kata yang sama, "Tidak apa-apa anakmu ini. Nanti juga baik sendiri."
"Terima kasih Rodolfo, uruslah anakmu sendiri," pengennya jawab gitu. Tapi kenyataannya cuma senyum getir bin gondok.
Alhamdulillah perkembangan Emir kemudian semakin baik. Amel juga mengalami perbaikan yang signifikan. Kami bersyukur sudah mengikuti intuisi kami sebagai orangtua. Rodolfo menggonggong, kami tetap melaju.
Oya, pada saat itu, ada dua terapi yang rutin dilakukan anak-anak kami, terapi wicara dan terapi okupasi.Â
Terapi wicara untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan bicara, sedangkan terapi okupasi memperbaiki masalah fisik, sensorik, dan kognitif. Kalau saya simpelnya, terapi okupasi membantu anak-anak fokus dan fungsi tubuhnya menjadi seimbang.Â
Ada sekitar tiga terapis di ruang terapi wicara, dan empat terapis di okupasi. Kadang ada yang berhalangan masuk sehingga terapis yang hadir lebih sedikit. Hal ini tentunya membuat antrean semakin panjang.
Namun sungguh saya acungi jempol kinerja dan kesabaran para terapis yang telah membantu anak-anak saya dan anak-anak lain yang memerlukan layanan terapi.Â
Para terapis itu ramah dan kadang meluangkan waktu mendengarkan curhat orangtua. Walaupun di sebagian besar sesi bahkan di semua sesi - orangtua tidak diperkenankan hadir di ruang terapi, namun saya beruntung pernah masuk saat pertama kali Emir diterapi. Jadi saya sempat mempelajari bagaimana terapi dilakukan, dan mempraktikannya di rumah saat tidak ada jadwal terapi di RS.
Karena rentang waktu yang panjang, saya jadi lupa nama-nama para terapis ini. Yang saya ingat nama dua terapis wicara yaitu Bu Euis dan Mbak Iin.Â
Melalui artikel ini saya sekali lagi mengucapkan terima kasih buat Bu Euis, Mbak Iin, dan para terapis di poli rehabilitasi medik RS dr Sardjito Jogjakarta. Tetap semangat karena pekerjaan kalian bernilai ibadah. Lemah teles, Gusti Allah sing mbales. Oh ya, dan terima kasih juga buat BPJS.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H