Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memori Kopi Instan Dingin

30 Mei 2021   07:18 Diperbarui: 30 Mei 2021   07:22 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen memori kopi instan dingin (Sumber: Andrew Neel/Pexels)

Malam ini aku melakukan lagi perbuatan bodoh untuk kesekian kalinya. Minum kopi instan dingin sebagai teman menyusun bahan laporan untuk meeting hari Senin.

Aku sudah tahu bahwa kopi dingin bukanlah sahabat untuk perutku, tapi selalu kuulangi melakukannya. Kadang semua berjalan lancar dan tidak ada efek apapun, namun malam ini rupanya aku kena batunya. Sudah empat kali aku B.A.B, dan perut rasanya masih melilit saja.

Perbuatan bodoh. Ketika aku menyadari bahwa yang kulakukan ini adalah perbuatan bodoh, mau tak mau ingatanku melayang pada lelaki itu. Lelaki super cuek dengan kata-katanya yang tajam. Lelaki yang pernah kucintai -- bahkan mungkin masih.

Jangan pernah memikirkan orang yang tidak memikirkan kamu! Kalau ini kata-kata sahabatku ketika aku sering curhat pas awal-awal putus hubungan dengan lelaki bermulut tajam tadi. Tapi tentu saja kata-kata sahabatku itu hanya numpang lewat masuk telinga kanan dan keluar di kiri.

Aku terus melakukannya, seperti saat ini.

Melakukan perbuatan bodoh kuadrat. Minum kopi dingin malam-malam dan kemudian diare -- dilanjut dengan memikirkan lelaki yang kemungkinan besar sedang tidak memikirkanku.

Aku memegangi perutku dan berjalan membungkuk, keluar dari kamar mandi -- lalu meringkuk di sofa. Mengerang. Tidak ada yang akan mendengar suaraku karena tante dan om serta anak-anak mereka sedang tidak ada di rumah.

Aku memang tinggal di rumah tanteku dan sekarang sedang sendirian saja. Tiba-tiba aku merasa ngenes dan nelongso. Pikir saja sendiri, ini malam minggu, dan aku lajang kesepian. Meringkuk di sofa dengan perut melilit, memikirkan mantan yang belum tentu sedang memikirkanku.

Aku meraih ponsel dan menatap wajah cuek yang pernah kusayang (bahkan mungkin masih) di dalam gallery. Aku perbaiki posisi dudukku, lalu aku bersila. Tangan kanan kuletakkan pada dada kiri, tepat di posisi jantung -- lalu aku mulai melakukan perbuatan bodoh ketiga.

Aku pernah melihat tanteku melakukan ini berdasarkan petunjuk seorang pakar hypnosis di youtube. Pejamkan mata, bayangkan pasangan Anda, letakkan tangan di jantung, lalu suarakan kata-kata afirmasi bahwa Anda sangat mencintai pasangan Anda. Percayalah bahasa kalbu itu akan langsung tembus menuju kalbu pasangan Anda.

Aku tak tahu apakah itu dapat berlaku pada pasangan abal-abal yaitu aku dan mantan -- hmm, bahkan dalam kondisi kesakitan ini aku sudah rancu menganggap bahwa mantan adalah pasangan.

Keringat dingin mulai keluar dari tubuhku. Aku merasa sebentar lagi aku akan pingsan. Sebelum aku pingsan dan barangkali nanti akan mati tanpa ketahuan seorang manusia pun, aku nekad melakukan perbuatan bodoh keempat -- menelepon mantan untuk meminta pertolongan.

Aku terlalu lemah untuk menyadari bahwa mantanku langsung merespons panggilan ponsel pada dering yang pertama.

"Tolong aku, badanku lemah sekali. Aku perlu ke rumah sakit. Keluarga tante sedang keluar kota, aku sendirian dan..."

"Tunggu dan bertahanlah, aku akan datang dalam lima belas menit. Jangan mati dulu."

Jangan mati dulu. Lelaki macam apa yang mengatakan itu pada perempuan yang pernah ia cintai? Atau aku harus memaknai kata-kata itu sebagai frasa romantis? Entahlah -- aku sedang tidak bisa berpikir.

Aku masih ingat untuk menyeret langkahku menuju pintu ruang tamu dan membuka kuncinya. Lima belas menit lagi kalau aku benar-benar pingsan, dia tak perlu mendobrak pintu ruang tamu.

***

Bau yang kubenci menyeruak masuk ke hidungku menyadarkan aku dari pingsan. Bau obat. Bau rumah sakit.

Yang pertama kulihat dari tempatku berbaring adalah selang infus yang menghubungkan punggung tanganku dengan botol infus.

 Yang kedua -- tentu saja wajah penolongku. Bukan wajah khawatir, namun wajah jutek. Yang anehnya memberikan efek nyaman nan bahagia dalam hatiku. Dasar bucin, aku. Tuhan, maafkan aku selalu lupa bahwa dia sudah mantan.

"Sejak kapan kau suka melakukan perbuatan bodoh -- minum kopi dingin malam-malam?" tanyanya.

"Sejak tiga bulan ini," sahutku dramatis. Semoga dia sadar bahwa itu berarti sejak kami putus.

"Lalu perbuatan bodoh kedua, tidak mengunci pintu rumah saat kau sendirian. Kalau ada maling bagaimana?"

Uh, apakah aku harus menjelaskan alasan aku tidak mengunci pintu? Itu kan untuk meringankan tugasnya dan meminimalisir kemungkinan pintu rusak karena didobrak? Dan aku yakin tidak akan ada maling yang masuk, karena satu-satunya maling adalah maling hatiku -- yaitu dia sendiri.

Dia mendekat, duduk di dekatku. Tuhan, ternyata aku kangen banget sama lelaki ini.

"Kapan kamu rencana pulang kampung? Dalam waktu dekat?" tanyanya dengan suara lebih lembut. Dan -- lho, ngapain juga dia meraih tanganku? Tapi aku suka, euy!

"Entah. Akhir bulan, mungkin."

"Aku ikut. Aku akan memintamu pada orangtuamu."

Hmm, bahasa apa pula itu? Apakah efek infus membuatku salah dengar, atau menjadi lemot?

"Meminta?" aku membeo.

"Melamar."

Kedua mataku yang membola membuatnya mendengus, seolah kesal karena harus menjelaskan perasaannya. Harus mengakui sesuatu yang dipendamnya.

"Pisah dari kamu tiga bulan membuat aku menyadari bahwa perbuatan bodohmu yang kadang mengesalkan -- ternyata bisa sangat ngangenin."

Wuah ... air mataku berlinangan mendengar kata-kata yang so sweet darinya.

"Dan kurasa nggak ada orang lain yang bakal tahan dengan semua perbuatan bodoh yang sering kamu lakuin. Cuma aku yang tahan. Harus aku," dia tersenyum. Senyum yang sangat langka muncul di bibirnya -- yang seakan-akan pengen langsung kuabadikan dengan kamera ponselku saking langkanya. Dia juga mengacak rambutku pelan.

Thanks to kopi instan dingin yang sayangnya tak akan lagi kuminum, karena calon suamiku yang protektif melarangku melakukannya.**

Catatan: 

Rasa apapun bisa diolah menjadi karya, tak terkecuali rasa sakit perut yang saya alami di malam minggu (semalam) - gara-gara minum kopi instan dingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun