Manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu memerlukan orang lain. Selalu berinteraksi dengan orang lain. Dalam interaksinya dengan orang lain, terkadang timbul kesalahpahaman, kemudian muncul luka hati.
Siapa yang tidak pernah disakiti? Sebaliknya, siapa yang tidak pernah menyakiti? Jika ada yang mengaku tidak pernah untuk dua pertanyaan saya tersebut, saya salut. Berarti orangnya sangat sabar, atau sebaliknya - bisa jadi sangat cuek.
Disakiti dan menyakiti
Kita pasti pernah berinteraksi dengan orang yang berlidah tajam. Kata-katanya sering kasar. Mungkin kadang ia tidak sadar. Namun karena lingkungan dan prinsip yang berbeda, maka kata-katanya sering menyakitkan bagi orang yang tak paham. Orang yang mendengar kata-katanya terluka (merasa disakiti), sedang dia sendiri tak merasa menyakiti.
Sebaliknya mungkin kata-kata kita menyakiti orang lain tanpa kita sadari. Karena standar masing-masing orang berbeda, bisa jadi apa yang kita anggap biasa, menjadi luar biasa di telinga orang lain. Maka diam adalah emas, itu sejatinya benar sekali. Daripada ngoceh ke sana ke mari ... mungkin lebih baik kita banyak diam. Mengontrol kata dan perbuatan kita, agar tidak lepas kendali. Jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang akan kita sesali.
Memaafkan dan dimaafkan
Sering kita mendengar orang berkata, ya aku sudah memaafkan tapi aku tak melupakan. Memang susah melupakan kata-kata atau perbuatan seseorang yang telah melukai kita. Ibarat dilukai dengan pedang, lukanya boleh jadi sembuh - namun bekas lukanya masih sering terasa nyeri. Ustadzah Aisyah Dahlan dalam sebuah ceramahnya memberikan tips bagaimana memaafkan dengan tulus hingga akhirnya kita dapat benar-benar melupakan peristiwa menyakitkan yang membekas dalam ingatan.
Begini tipsnya, kita harus berkontemplasi, mengingat perbuatan menyakitkan yang pernah dilakukan si A pada kita. Kita bayangkan wajah si A berada di depan kita. Lalu kita mengatakan, ya Allah ... saya memaafkan A atas perbuatannya kemarin bla bla bla - perbuatannya itu kita sebutkan. Bilang sama Allah kita sudah ridho dan ingin memaafkan dengan tulus. InsyaAllah dengan persuasi yang kita lakukan pada diri kita sendiri, perlahan kita bisa benar-benar memaafkan kesalahan seseorang kepada kita.
Bagaimana jika kita ada pada posisi yang punya salah? Kita pasti ingin dimaafkan, bukan? Kita akan cemas dan tidak bisa tidur jika belum menerima kata maaf dari orang yang kita sakiti. Maka jika ingin dimaafkan, kita juga harus ringan memaafkan kesalahan orang lain pada kita.
Lebaran, momen saling memaafkan
Lebaran merupakan salah satu momen saling memaafkan secara nasional, bahkan mungkin dunia. Keluarga saya pun memanfaatkan momen ini setiap tahunnya untuk saling memaafkan. Biasanya setelah salat ied, saya akan minta maaf pada suami, sungkem mohon maaf atas semua kesalahan saya.Â
Suami biasanya menjawab, sama-sama ya, aku juga minta maaf. Lalu bergiliran anak-anak dari yang paling tua hingga yang muda saling minta maaf secara berturutan. Biasanya endingnya anak-anak eyel-eyelan sendiri karena ada yang tidak mau cium tangan kakaknya.
Lalu usai bermaaf-maafan antar anggota keluarga, kami biasa bersilaturahmi ke keluarga besar - atau ke tetangga dekat (setelah pandemi, jumlah rumah yang kami kunjungi untuk silaturahmi berkurang drastis - begitulah yang terjadi pada lebaran tahun lalu). Tak lupa menyapa mereka yang jauh, walau hanya melalui media sosial saja.
Mohon maaf lahir batin. Maafin salahku, ya. Iya sama-sama. Kata-kata yang berulang, diucapkan secara biasa seolah tanpa penyesalan, dan seakan hanya formalitas saja, karena sebenarnya sih merasa tidak ada kesalahan yang berat-berat banget.Â
Lama-lama jadi seperti basa-basi lebaran. Apalagi trend zaman ini, di saat teknologi digital merajai, meminta maaf di media sosial cukup kopas sana-sini. Seolah tak ada effort berarti untuk mengucapkan maaf secara lebih pribadi. Apa daya, memang begitulah perkembangan tradisi.
Supaya saling memaafkan tidak menjadi ajang basa-basi, sebelumnya niatkan bahwa kita meminta maaf untuk menghapus dosa-dosa yang secara tak sengaja kita lakukan.Â
Mungkin sudah pernah melukai perasaan orang yang dimintai maaf. Setelah itu niatkan dengan memohon kepada Allah agar kita diberi kemudahan untuk selalu mengontrol ucapan dan tindakan kita, sehingga kita terhindar dari perbuatan yang bisa melukai orang lain. Karena esensi meminta maaf itu sebenarnya diiringi niat untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.
Lalu, soal kopas mengopas ucapan? Kita tak bisa memaksa orang untuk sedikit berusaha mengetik kata-kata khusus kepada setiap orang - alih-alih mengirim satu ucapan untuk semua. Yang penting niatnya baik dan tulus ... tak sekadar: yang penting ngirim, biar sama dengan yang lain. Ahahaha.
Selamat merayakan hari raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H