Kompleks Mutiara Indah di pagi hari, seperti biasa sepi. Hanya ada satu sudut yang cukup ramai. Biasanya penuh kerumunan ibu-ibu, yang walau sudah ada larangan berkerumun, tetap tak mau ketinggalan ritual pagi - belanja sayur sambil bergosip.
Betul. Sudut yang ramai itu adalah tempat Mas Mukijo menjajakan dagangan sayurnya di atas mobil bak terbuka. Aneka ragam jualannya, tak cuma sayur. Ia juga membawa daging, ikan, ayam, tahu, tempe, dan bahan pangan basah lainnya. Karena itulah ia selalu dicintai ibu-ibu kompleks. Karena jualan yang lengkap, ditambah profil diri yang terkenal tidak pelit. Suka memberi diskon dan bonus.
Tapi kisah ini tak hendak bercerita tentang Mukijo, melainkan tentang salah satu ibu yang tinggal di kompleks Mutiara Indah. Rumahnya tak jauh dari tempat mangkal Mas Mukijo. Rumah bercat abu-abu, yang kini tampak lengang. Pintu dan jendela tertutup rapat.Â
Bu Vanesa tampak memilih-milih kangkung dengan serius, walau dari tadi ujung ekor matanya selalu melirik rumah bercat abu-abu.
"Bu Nesa, bagaimana kabarnya Pak Sulaiman, apa sudah dilepas sama polisi?" senggol Bu Rara mengagetkan Bu Vanesa.
"Sssh, Bu Rara jangan keras-keras. Tidak enak kalau didengar Bu Sulaiman," sergah Bu Vanesa.Â
Bu Rara memasang muka heran.
"Kenapa harus tidak enak segala? Dan kenapa harus bisik-bisik? Kejadian kemarin itu jelas sekali terpampang nyata. Pak Sulaiman dicokok polisi karena ketahuan sebagai teroris!"
"Husssh, Bu Rara!" Bu Vanesa berusaha mencegah Bu Rara ngomong lebih jauh lagi. Karena cuma kangkung yang ada di tangannya, ia terpaksa menyodorkan kangkung tepat di mulut Bu Rara agar tetangganya itu diam. Bu Rara jadi gelagapan, lalu misuh-misuh karena kangkung kotor itu menodai skinker sultan yang ia pakai di wajahnya. Skinker yang dibelinya atas hasil ngirit-ngirit uang belanja selama enam bulan.
"Jadi Pak Sulaiman itu benaran teroris, Bu?" Mas Mukijo ikut-ikutan kepo. "Gak nyangka ya, padahal orangnya lembut dan santun."