Ibu  Dr. Ir. Rina. M.Si, Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan dalam kata sambutan acara ini menjelaskan pada tahun 2017 ada 80 % program yang dibuat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mengikut sertakan keluarga nelayan dan menjadi kegiatan yang kontinyu dilakukan. Sebagai contoh di KKP ada Pusat Pelatihan Masyarakat.Â
Di tahun 2017 Â Pelatihan khusus wanita nelayan, ada sekitar 600 -- 700 perempuan nelayan ikut dalam pelatihan ini, mulai dari pelatihan managemen usaha, Â pengolahan produk perikanan, barang kerajinan.
"Program pemberdayaan ini pada hakekatnya diarahkan untuk mengembangkan potensi diri dari masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan penyelenggraan bermasyarakat sehingga perempuan bisa sejajar dengan laki-laki.Walaupun sebenarnya tidak ada pembedaan dalam Undang-Undang.
Nelayan adalah subjek ke pekerjaan, bukan ke gender. Siapapun yang melakukan kegiatan nelayan, maka ia adalah nelayan. Namun implementasi di lapangan  tidak sesederhana itu."ujar Ibu  Dr. Ir. Rina. M.Si,
"Salah satu program KKP adalah memberikan asuransi kepada siapa saja yang bekerja sebagai nelayan. Patokannya adalah status pekerjaan di KTP tertulis 'Nelayan', maka ia kan mendapatkan Kartu Nelayan, yang bisa mengakses asuransi.
Bila nelayan meninggal dalam kegiatannya saat melaut, ia memperoleh 200 Juta. Bila nelayan sekembalinya dari melaut sakit dan meninggal di rumah, maka ia memperoleh 160 juta, Bila sampai mengalami cacat tetap atau sakit saja, maka tetap ada bantuan dari asuransi," demikian  Ibu  Dr. Ir. Rina. M.Si,menjelaskan.
Namun kenyataannya belum semua perempuan nelayan yang bekerja di laut mendapatkan Kartu Nelayan. Apalagi terkait definisi nelayan, maka perempuan nelayan yang bekerja di hulu pada proses pengolahan ikan tidak bisa mendapatkannya.
Kehadiran Undang-Undang No.7/ 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam adalah sebuah kemajuan. UU ini memiliki semangat untuk melindungi hak-hak nelayan kecil sebagai salah satu kelompok yang rentan.Â
Sayangnya implementasi kebijakan tersebut belum menggapai perempuan Nelayan. Definisi Nelayan dalam UU tersebut dibatasi hanya pada pekerjaan menangkap ikan yang diasosiasikan sebagai dunia profesi laki-laki. Hal ini membuat perempuan tersingkir dari kategori nelayan. Padahal kebijakan publik yang ideal seharusnya dapat menghapuskan diskriminasi gender dan menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara.
Mbak Andi Misbahul Pratiwi dan Abby Gina melakukan penelitian secara observasi langsung  terhadap perempuan nelayan di desa Morodemak dan Purworejo di kabupaten Demak, Jawa Tengah  dengan memfokuskan pada persoalan yang dihadapi oleh perempuan nelayan yang melaut maupun yang mengolah hasil tangkapan dan aktivisme Puspita BahariÂ
Mbak Andi mengungkapkan " Di kabupaten Demak , eksistensi perempuan nelayan tidak bisa dipungkiri. Perempuan nelayan ada dan hadir dalam kerja-kerja domestic Maupun public rantai produksi perikanan, mulai dari proses penangkapan, pengelolaan hasil tangkapan, pemasaran hingga penjualan.Â