Mohon tunggu...
Indah Noing
Indah Noing Mohon Tunggu... Lainnya - Maminya Davinci

Ibu rumah tangga biasa, punya 3 krucils, pernah bekerja sebagai analis laboratorium klinik selama 10 tahun. Selalu berharap Indonesia bisa maju dan jaya tak kalah dari negeri yg baru merdeka.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[ Fiksi Kuliner] Makan Soto Ayam Suroboyo di Pulo Gadung Senja Hari

6 Juni 2016   21:08 Diperbarui: 1 April 2017   08:56 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ah akhirnya aku bisa pulang kantor cepat dan kini aku sudah duduk manis di dalam bus Trans Jakarta jurusan Pulogadung. Hari masih siang, jam 15.25, namun langit gelap yang tampak di atas sana seperti senja yang sudah ingin menyambut Maghrib.

“Duaaarrr !!”
 Suara petir yang besar terdengar memekakkan telinga. Membuat jantungku ikut berdebar-debar kencang. Lalu tak berapa lama hujan deras turun membasahi bumi. Seorang anak balita yang ada di dalam bus menangis histeris, mungkin karena kaget mendengar suara petir dan juga suara derasnya hujan.

 “Kriuk, kriuk,kriuk !”
 Aduuh kalau ini sudah pasti bunyi dari dalam perutku, bunyinya seolah-olah tak mau kalah dengan suara hujan di luar bus. Terbayang olehku rawon yang kumasak tadi pagi pasti enak bila dimakan saat suhu dingin begini. Hhhm kira-kira suamiku sudah sampai rumah belum ya?

“Ping !”
 Langsung kubuka telepon genggamku.

“Ntik, rawon masakanmu enak nih, aku habisin yaa.. laper banget nih. Kamu beli makan kesukaanmu aja deh yaa Ntik.” Diakhiri dengan tanda ikon meringis.
 Panjang umurnya baru kupikirkan eh mas Sigit malah udah kirim pesan singkat. Suamiku memanggilku ‘Ntik’ bukan mempersingkat kata ‘cantik’ lho, namun melainkan dari kata ‘antik’. Menurut mas Sigit, aku ini wanita antik, jarang-jarang ada yang antik sepertiku, yang sedikit gila karena mau menikahi pria yang antik seperti dia. Aku hanya tertawa mendengar alasannya, tapi biarlah, aku senang karena hanya mas Sigitlah yang memanggilku ‘Ntik’.

“Pemberhentian berikutnya Terminal Pulo Gadung, perhatikan barang-barang bawaan anda, berhati-hatilah saat melangkah turun” suara dari speaker bus membuatku tersadar dari lamunanku. Sudah hampir sampai nih, tak terasa cepat juga bus sampai terminal, kupikir karena hujan perjalanan akan lebih lambat terkendala macet.
 Para penumpang mulai turun dari bus, di musim hujan saat ini banyak juga yang membawa payung, aku dan beberapa penumpang yang tidak membawa payung tetap berteduh di halte menunggu hujan reda. Jujur aku tak suka membawa payung, aku sering lupa bila terpaksa membawa payung, aku sering meninggalkan payung tersebut entah dimana, tahun ini sudah tiga kali aku kehilangan payung

“Kak Johan, pulang yuk kak, adek laper dan kedinginan nih.”
 Terdengar olehku suara anak lelaki kecil. Aku menoleh ke arah dua anak lelaki tersebut. Mereka menjajakan payung ke para penumpang yang baru keluar halte bus. Namun tak ada yang memperdulikannya. Ya kurasa hujan deras seperti ini akan tetap kebasahan walau sudah pakai payung juga. Jadi orang-orang banyak yang memilih tetap berteduh.

“ Sebentar dek, kita belum dapat orang yang mau sewa payung kita, sabar ya, tunggulah “
 Kulihat adiknya hanya menunduk melihat rintik air yang jatuh di kakinya. Genangan air di kakinya berwarna kehitaman, mungkin air hujan yang sudah bercampur dengan minyak oli bus.

“ Adik-adik !” Panggilku
 “ Kriuk, kriuk, kriuk,” aduh suara dari perutku juga memanggil nih.
 “ Iya bu” jawab mereka
 Aduuh aku dipanggil ‘ibu’ oleh mereka, sudah sedemikian tuakah aku ini. Tapi gak papalah, dari pada dipanggil ‘nenek’.

“Ibu mau ojek payung kami?” Tanya anak yang lebih kecil.
 “ Iya, ibu lapar nih, kalian tahu di mana rumah makan yang ada soto ayam yang enak?” tanyaku
 “  Kak Johan, soto ayam Suroboyo yang itu saja kak, kasih tahu ibunya,” kata si anak yang lebih kecil kepada kakaknya yang bernama Johan.
 “  Mari bu, kami antarkan, ini payungnya bu, silahkan dipakai,” kata Johan.
 Waah payungnya besar banget, ini sih kayaknya payung buat main golf.

“ Kalian namanya siapa? Sudah kelas berapa sekolahnya?” tanyaku.
 “ Saya Johan bu, kelas 5, ini adik saya Niki kelas 2,” jawab Johan.
 “ Wah Niki Lauda yaa namamu?” tanyaku lagi.
 “ Iya buu.. ayah penggemar berat pembalap Niki Lauda,” jawab Niki.
 “ Ayo sini, Niki sama aku saja payungannya,” kataku
 “ Nggak usah bu, biar saya sama kak Johan bu.”
 Terharu aku melihat mereka, anak-anak sekecil itu sudah berjiwa pelayanan ke pelanggan ojek payungnya.  Mereka gak ingin aku kebasahan memakai payungnya. Kulihat Johan menggandeng adiknya, mereka saling menjaga. Pahit benar nasibnya, sekecil itu sudah mencari uang. Anak-anak kecil lainnya saat hujan seperti ini pasti banyak yang di rumah saja, menonton televisi sambil mengemil makanan kecil.

“ Itu bu warung sotonya ! ” Teriak Johan
 Aku melihat ke arah yang ditunjuk Johan. Aduh, itu sih bukan rumah makan, itu mah PKL (Pedagang Kaki Lima) yang pakai atap terpal buat berteduh. Tapi benar di sana menjual soto ayam.

“ Soto ayamnya enak di sana?” tanyaku
 “ Enak bu, kadang emak suka beli di sana buat makan rame-rame di rumah,” jawab Niki polos.

Tibalah kami di abang gerobak soto ayam Suroboyo tersebut.
 “Mas, aku pesan soto ayam tiga porsi ya..” kataku pada mas penjual soto.
 Kulihat Johan dan Niki saling memandang bingung.
 “Ayo Johan, Niki, sini duduk, kiata makan sama-sama yaa” kataku.
 “Jangan bu,  jangan repot-repot, kami mau pulang saja,” jawab Johan.
 Aku tak bisa memaksa lagi, sudahlah mungkin begitu juga lebih baik.
 “Mas, yang dua porsi dibungkus saja, dipisah kuahnya ya mas,” kataku ke mas penjual soto.Kulihat Niki dan Johan makin bingung. Mereka anak yang sopan, mereka tak mau menagih upah mengojek payung sekarang. Payung yang sudah tertutup rapi sengaja tetap kupegang.

Kulihat mas penjual Soto meracik bahan-bahan seperti, irisan kol, mihun, suwiran ayam, telor rebus, potongan kentang goreng, daun bawang, dimasukkan ke dalam mangkok, lalu dituangi kuah soto, lalu ditaburi bawang goreng, ditambah juga irisan jeruk nipis. Aduuuh harumnya aroma soto ini sudah membuatku tambah lapar.

Semangkok soto ayam Suroboyo untukku sudah mendarat manis di meja panjang yang cuma satu-satunya ada di sana. Tak lama kemudian dua bungkus soto pun sudah siap. Aku langsung memberikannya kepada Johan dan Niki. Aku juga memberi biaya sewa payung, Sebenarnya biaya sewa payung hanya Rp.10.000 saja, namun aku memberinya Rp.30.000 kepada mereka. Sebenarnya mereka menolak uang tersebut, mereka sudah senang dibelikan soto ayam, namun aku memaksa mereka menerimanya.
 “ Terima kasih banyak bu, kami pamit, hati-hati ya buu,” kata Johan.
 “ Terimakasih soto ayamnya bu, mas, ini buat kami makan bersama ibu dan adik-adik di rumah” kata Niki.  
 “ Baiklah, hati-hati ya Johan, Niki. Belajar yang rajin. Semoga nanti besar tercapai cita-citanya. Oh ya kalian besar mau jadi apa?” tanyaku.
 “ Saya mau jadi polisi bu,” jawab Niki.
 “ Saya ABRI bu,” kata Johan.

Aku menatap kepergian mereka, mereka berlari menyeberang jalan, menerobos derasnya hujan, mungkin mereka juga tak sabar ingin segera makan soto bersama keluarganya. Sepahit apapun masa kecilmu kini Johan dan Niki, kuharap besar nanti banyak hal-hal manis dalam hidupmu, tercapailah cita-cita kalian.


 Aku kembali duduk dan mulai memakan soto ayam di hadapanku. Ahh nikmatnya, pakai sedikit sambal, di tambah kriuknya kerupuk emping. Aku makan lahap saking laparnya. Betul juga kata orang, bila perut sedang lapar, maka makan apa saja terasa nikmat dan sedap

Di hadapanku ada seorang nenek, kulihat ia menunduk menghapus air matanya dengan sapu tangannya yang lusuh. Sepertinya sulit bagi si nenek membendung air matanya yang mengalir terus. Aku tak berani mengusiknya, kurasa si nenek butuh waktu tuk menenangkan sedih hatinya. Kulihat mangkok soto si nenek sudah kosong. Aku menyodorkan segelas air mineral kepadanya, aku memberi isyarat agar ia mau meminumnya, supaya lebih tenang. Si nenek malah tambah tersedu-sedu menangisnya, ah jadi gak tega melihatnya, aku jadi teringat ibuku di rumah.

“ Andai putriku sepertimu nak, mungkin nasibku tak seperti ini,” kata si nenek.
 Aku menoleh ke belakang, mungkinkah si nenek berbicara kepada orang yang ada di belakangku? Tapi tak ada siapa-siapa di belakangku. Pastilah ia membuka obrolan padaku.
 “ Memang putrimu kemana nek?” tanyaku padanya
 “ Satu putriku sudah meninggal, satu lagi putriku sudah menikah dan tinggal bersama suaminya yang kaya” jawab si nenek.
 “ Oh meninggal kenapa bu? “  tanyaku.
 “ Kecelakaan motor, dia dan suaminya meninggal, anaknya mereka sekarang ikut aku” jawabnya.
 “ Tapi putri aku yang satu lagi tak menyayangiku, ia malu punya ibu miskin, empat bulan yang lalu, ia datang ke rumahku pas aku lagi antar cucu ke sekolah, barang-barang perhiasanku, perkakas rumah, telepon genggam diambil putriku itu. Sama sekali tak ada uang tersisa buat aku di rumah. Aku coba jadi tukang cuci gosok di rumah tetangga tapi akhirnya pas rumah kontrakan di Kampung Melayu gak mampu bayar, aku dan cucu luntang-lantung di jalan. Sungguh aku belum pernah mengalami mengemis seumur hidup. Meminta makan dari orang-orang yang mau memberi. Sebulan aku dan cucu tidur di masjid komplek perumahan di daerah Klender. Untungnya ada seseorang yang baik, mau membayar sewa rumah buat nenek dan cucu tiap bulannya. Sudah dua bulan ini aku dan cucuku tinggal di rumah itu.” Cerita pilu si nenek.
 “ Lho, jadi sekarang nenek mengemis, cucu nenekk tahu nggak?” Aku bertanya sambil memberi mangkok soto yang sudah kosong ke mas penjual soto.
 “ Cucu aku gak tau nak, aku gak mau juga kalau cucu ampe tahu neneknya mengemis, aku dari rumah berangkat jam 6 nak, pake baju normal, baju yang kayak biasa saja. Tapi sampai terminal sini aku ganti baju jelek. Nanti kalau mau pulang baru ganti baju biasa lagi. Nih nenek ampe gak kuat lagi kakinya, gampang cape, gara-gara sering jalan kaki melulu, tangan juga ampe pegel karena selalu begini minta-minta uang,” cerita si nenek sambil menengadahkan tangannya.

“ Jadi nenek sekarang gak tahu bagaimana cara menghubungi putri nenek yang masih hidup ini?” tanyaku
 “ Ah biarlah nak, kalau nenek cari dia, nanti disangkanya nenek meminta balas, meminta uang dari dia, padahal ini cucu aku, keponakannya saja dia tak mau mengurusnya, padahal dulu kakaknya tuh putri saya yang meninggal itu yang membiayai kuliahnya. Sungguh kasihan nasib cucu saya nak,” mata si nenek mulai berkaca-kaca.
 “ Jadi cucu nenek sekarang umur berapa dan masih sekolah nggak?”
 “ Cucu saya harusnya ikut UN tahun ini nak, tapi karena kami pindah kontrakan jadi berhenti dulu sekolahnya, padahal dapat tunjangan KJP dari sekolahnya dulu. Nanti rencana nenek dia mau diikutin kejar paket A dulu biar dapat ijazah SD, sudah aku daftarkan di dekat rumah kontrakan sih, Aku berharap dia juga terwujud cita-citanya yang kayak anak-anak yang tadi ojek payung. Cucu saya cita-citanya juga mau jadi ABRI“ kata si nenek.
 “ Nek, kalau boleh tahu siapa nama putri nenek dan tinggal di mana?” tanyaku
 “ Dia tinggal di Ciputat, jadi guru TK di sana, tapi nenek gak tahu alamat rumahnya, nama putri nenek Indah,” jawab si nenek.
 Apaaa? Aku langsung kaget mendengar jawaban si nenek. Itu namanya samaan kayak aku, aduuuh amit-amit jangan sampai aku seperti si Indah anak nenek, si Indah itu udah durhaka ke ibunya. Duuuh nek, salah apa sehingga Indahmu jadi begitu.


 “ Ping !”
 “ Kamu di mana Ntik? Kok belum sampai rumah?” pesan singkat dari mas Sigit.
 “ Aku mau ke rumah ibu ya mas, nanti malam aku pulang ke rumah.” Jawabku.

“ Nek, aku pamit yaa.., sabarlah nek, kurasa suatu saat nanti ada waktu buat nenek mengalami masa-masa indah, semoga cita-cita cucu nenek bisa terwujud ya nek, “ aku salami tangan si nenek yang aduuh kasar banget kulit telapak tangannya.

“ Mas tolong buatkan dua bungkus soto buat si nenek yaa.. Ayam dan kuahnya yang banyak mas, biar cucu nenek senang.” Kataku.
 Si nenek tak bisa berkata-kata, matanya penuh air mata, akupun tak sanggup berbicara lagi. Kupeluk si nenek walaupun ia baru kukenal di warung soto ayam Suroboyo di Pulogadung ini.

Aku langsung membayar semua soto yang tadi kupesan. Aku langsung pergi kembali ke halte bus Trans Jakarta Pulo Gadung, lalu naik bus jurusan Cempaka Sari. Aku mau ke rumah ibu, mengetahui keadaannya langsung. Kuharap aku selalu menjadi anak ibuku yang baik. Bila pun nanti aku punya anak, aku tak mau punya anak seperti si Indah anak nenek pengemis itu. Aku pun ingin anak-anakku pun tidak mengalami nasib seperti Johan dan Niki, semoga Tuhan masih memberiku dan mas Sigit kekuatan untuk mencari nafkah membiayai hidup sekeluarga. Pun semoga masih diberi rezeki untuk bisa berbagi kepada sesama.

************************************************************************************************************

Oleh Indah Noing
No.9

sumber:fiksiana community
sumber:fiksiana community
Untuk menikmati fiksi kuliner karya peserta lainnya, silahkan mengunjungi link Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Kuliner Fiksiana Community 2016

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/fiksiana-community/inilah-hasil-karya-peserta-event-fiksi-kuliner-fiksiana-community-2016_5754a7b2969373b304a3f380

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun