Mohon tunggu...
Indah Noing
Indah Noing Mohon Tunggu... Lainnya - Maminya Davinci

Ibu rumah tangga biasa, punya 3 krucils, pernah bekerja sebagai analis laboratorium klinik selama 10 tahun. Selalu berharap Indonesia bisa maju dan jaya tak kalah dari negeri yg baru merdeka.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[ Fiksi Kuliner] Makan Soto Ayam Suroboyo di Pulo Gadung Senja Hari

6 Juni 2016   21:08 Diperbarui: 1 April 2017   08:56 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“ Itu bu warung sotonya ! ” Teriak Johan
 Aku melihat ke arah yang ditunjuk Johan. Aduh, itu sih bukan rumah makan, itu mah PKL (Pedagang Kaki Lima) yang pakai atap terpal buat berteduh. Tapi benar di sana menjual soto ayam.

“ Soto ayamnya enak di sana?” tanyaku
 “ Enak bu, kadang emak suka beli di sana buat makan rame-rame di rumah,” jawab Niki polos.

Tibalah kami di abang gerobak soto ayam Suroboyo tersebut.
 “Mas, aku pesan soto ayam tiga porsi ya..” kataku pada mas penjual soto.
 Kulihat Johan dan Niki saling memandang bingung.
 “Ayo Johan, Niki, sini duduk, kiata makan sama-sama yaa” kataku.
 “Jangan bu,  jangan repot-repot, kami mau pulang saja,” jawab Johan.
 Aku tak bisa memaksa lagi, sudahlah mungkin begitu juga lebih baik.
 “Mas, yang dua porsi dibungkus saja, dipisah kuahnya ya mas,” kataku ke mas penjual soto.Kulihat Niki dan Johan makin bingung. Mereka anak yang sopan, mereka tak mau menagih upah mengojek payung sekarang. Payung yang sudah tertutup rapi sengaja tetap kupegang.

Kulihat mas penjual Soto meracik bahan-bahan seperti, irisan kol, mihun, suwiran ayam, telor rebus, potongan kentang goreng, daun bawang, dimasukkan ke dalam mangkok, lalu dituangi kuah soto, lalu ditaburi bawang goreng, ditambah juga irisan jeruk nipis. Aduuuh harumnya aroma soto ini sudah membuatku tambah lapar.

Semangkok soto ayam Suroboyo untukku sudah mendarat manis di meja panjang yang cuma satu-satunya ada di sana. Tak lama kemudian dua bungkus soto pun sudah siap. Aku langsung memberikannya kepada Johan dan Niki. Aku juga memberi biaya sewa payung, Sebenarnya biaya sewa payung hanya Rp.10.000 saja, namun aku memberinya Rp.30.000 kepada mereka. Sebenarnya mereka menolak uang tersebut, mereka sudah senang dibelikan soto ayam, namun aku memaksa mereka menerimanya.
 “ Terima kasih banyak bu, kami pamit, hati-hati ya buu,” kata Johan.
 “ Terimakasih soto ayamnya bu, mas, ini buat kami makan bersama ibu dan adik-adik di rumah” kata Niki.  
 “ Baiklah, hati-hati ya Johan, Niki. Belajar yang rajin. Semoga nanti besar tercapai cita-citanya. Oh ya kalian besar mau jadi apa?” tanyaku.
 “ Saya mau jadi polisi bu,” jawab Niki.
 “ Saya ABRI bu,” kata Johan.

Aku menatap kepergian mereka, mereka berlari menyeberang jalan, menerobos derasnya hujan, mungkin mereka juga tak sabar ingin segera makan soto bersama keluarganya. Sepahit apapun masa kecilmu kini Johan dan Niki, kuharap besar nanti banyak hal-hal manis dalam hidupmu, tercapailah cita-cita kalian.


 Aku kembali duduk dan mulai memakan soto ayam di hadapanku. Ahh nikmatnya, pakai sedikit sambal, di tambah kriuknya kerupuk emping. Aku makan lahap saking laparnya. Betul juga kata orang, bila perut sedang lapar, maka makan apa saja terasa nikmat dan sedap

Di hadapanku ada seorang nenek, kulihat ia menunduk menghapus air matanya dengan sapu tangannya yang lusuh. Sepertinya sulit bagi si nenek membendung air matanya yang mengalir terus. Aku tak berani mengusiknya, kurasa si nenek butuh waktu tuk menenangkan sedih hatinya. Kulihat mangkok soto si nenek sudah kosong. Aku menyodorkan segelas air mineral kepadanya, aku memberi isyarat agar ia mau meminumnya, supaya lebih tenang. Si nenek malah tambah tersedu-sedu menangisnya, ah jadi gak tega melihatnya, aku jadi teringat ibuku di rumah.

“ Andai putriku sepertimu nak, mungkin nasibku tak seperti ini,” kata si nenek.
 Aku menoleh ke belakang, mungkinkah si nenek berbicara kepada orang yang ada di belakangku? Tapi tak ada siapa-siapa di belakangku. Pastilah ia membuka obrolan padaku.
 “ Memang putrimu kemana nek?” tanyaku padanya
 “ Satu putriku sudah meninggal, satu lagi putriku sudah menikah dan tinggal bersama suaminya yang kaya” jawab si nenek.
 “ Oh meninggal kenapa bu? “  tanyaku.
 “ Kecelakaan motor, dia dan suaminya meninggal, anaknya mereka sekarang ikut aku” jawabnya.
 “ Tapi putri aku yang satu lagi tak menyayangiku, ia malu punya ibu miskin, empat bulan yang lalu, ia datang ke rumahku pas aku lagi antar cucu ke sekolah, barang-barang perhiasanku, perkakas rumah, telepon genggam diambil putriku itu. Sama sekali tak ada uang tersisa buat aku di rumah. Aku coba jadi tukang cuci gosok di rumah tetangga tapi akhirnya pas rumah kontrakan di Kampung Melayu gak mampu bayar, aku dan cucu luntang-lantung di jalan. Sungguh aku belum pernah mengalami mengemis seumur hidup. Meminta makan dari orang-orang yang mau memberi. Sebulan aku dan cucu tidur di masjid komplek perumahan di daerah Klender. Untungnya ada seseorang yang baik, mau membayar sewa rumah buat nenek dan cucu tiap bulannya. Sudah dua bulan ini aku dan cucuku tinggal di rumah itu.” Cerita pilu si nenek.
 “ Lho, jadi sekarang nenek mengemis, cucu nenekk tahu nggak?” Aku bertanya sambil memberi mangkok soto yang sudah kosong ke mas penjual soto.
 “ Cucu aku gak tau nak, aku gak mau juga kalau cucu ampe tahu neneknya mengemis, aku dari rumah berangkat jam 6 nak, pake baju normal, baju yang kayak biasa saja. Tapi sampai terminal sini aku ganti baju jelek. Nanti kalau mau pulang baru ganti baju biasa lagi. Nih nenek ampe gak kuat lagi kakinya, gampang cape, gara-gara sering jalan kaki melulu, tangan juga ampe pegel karena selalu begini minta-minta uang,” cerita si nenek sambil menengadahkan tangannya.

“ Jadi nenek sekarang gak tahu bagaimana cara menghubungi putri nenek yang masih hidup ini?” tanyaku
 “ Ah biarlah nak, kalau nenek cari dia, nanti disangkanya nenek meminta balas, meminta uang dari dia, padahal ini cucu aku, keponakannya saja dia tak mau mengurusnya, padahal dulu kakaknya tuh putri saya yang meninggal itu yang membiayai kuliahnya. Sungguh kasihan nasib cucu saya nak,” mata si nenek mulai berkaca-kaca.
 “ Jadi cucu nenek sekarang umur berapa dan masih sekolah nggak?”
 “ Cucu saya harusnya ikut UN tahun ini nak, tapi karena kami pindah kontrakan jadi berhenti dulu sekolahnya, padahal dapat tunjangan KJP dari sekolahnya dulu. Nanti rencana nenek dia mau diikutin kejar paket A dulu biar dapat ijazah SD, sudah aku daftarkan di dekat rumah kontrakan sih, Aku berharap dia juga terwujud cita-citanya yang kayak anak-anak yang tadi ojek payung. Cucu saya cita-citanya juga mau jadi ABRI“ kata si nenek.
 “ Nek, kalau boleh tahu siapa nama putri nenek dan tinggal di mana?” tanyaku
 “ Dia tinggal di Ciputat, jadi guru TK di sana, tapi nenek gak tahu alamat rumahnya, nama putri nenek Indah,” jawab si nenek.
 Apaaa? Aku langsung kaget mendengar jawaban si nenek. Itu namanya samaan kayak aku, aduuuh amit-amit jangan sampai aku seperti si Indah anak nenek, si Indah itu udah durhaka ke ibunya. Duuuh nek, salah apa sehingga Indahmu jadi begitu.


 “ Ping !”
 “ Kamu di mana Ntik? Kok belum sampai rumah?” pesan singkat dari mas Sigit.
 “ Aku mau ke rumah ibu ya mas, nanti malam aku pulang ke rumah.” Jawabku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun