Mohon tunggu...
indah lutfiyati
indah lutfiyati Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hasil berfikir memang belum tentu benar, namun tidak berfikir justru tidak pernah ada yang membenarkan.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sebuah Resensi: Tuhan Maha Asyik

17 Januari 2020   21:49 Diperbarui: 12 Oktober 2023   11:03 14050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Identitas Buku
Judul                                : Tuhan Maha Asyik
Penulis                            : Sujiwo Tejo & Dr.Mn.Kamba
Penerbit                          : Imania
Cetakan                           : Pertama, November 2016
Tebal                                : 245 halaman
Panjang x lebar            : 22x13 cm
Tebal.                               : 16 mm

Sinopsis:
"Asyik itu yang mengasyiki, Masyuk itu yang diasyiki. Jadi buku ini menyeret kita untuk mentawafi pengalaman Tuhan yang mengasyiki hamba-hamba-Nya. Kita menyangka kita juga mengasyiki-Nya, padahal aslinya yang asyik maupun yang masyuk adalah Ia sendiri." (Emha Ainun Najib)

Buku yang dibuka dengan lirik lagu "Nadian" (Sujiwo Tejo)  lengkap dengan barcode menuju link pengunduhan ini menyuguhkan kisah-kisah sederhana dengan perjalanan makna yang cukup dalam. Lagu pembuka bernuansa romance religi ini rasanya telah memberikan sedikit gambaran tentang buku ini. Seperti pada lirik:
Nadian aku tansah kalingan sliramu
(Meskipun aku selalu ingat akan diri-Mu)
Nadian tansah kelingan sedyamu
(Meskipun selalu ingat semua perintah-perintah-Mu)
Nadian aku tan nggandeng tanganmu Tan biso tanganku
Meskipun aku ingin memegang tangan-Mu (Tangan disini di artikan semacam kasih sayang-Nya) tetapi tak mampu tangan ku.

Sepenggal lirik di atas berkisah tentang sebuah perjalanan spiritual untuk mengenal Tuhan lebih dekat. Bahwasanya meskipun kita selalu ingat, tau segala perintah dan larangan Tuhan, namun sejatinya kita belum tentu sepenuhnya  mampu mewujudkan sebuah ketauhidan/keyakinan kepada-Nya.

Manusia, selaku mahluk fana yang diberikan akal untuk berpestaria dalam berpikir. Maka, kehendak berpikir mengenai siapa Tuhannya, siapa penciptanya, siapa yang ia yakini bukanlah suatu bentuk penolakan akan penguasanya, melainkan sebagai usaha pencarian mengenal lebih dekat siapakah Dia.

Dan melalui buku ini, budayawan Sujiwo Tejo serta rekannya Dr. Mn. Kamba mengajak kita para pembaca untuk mengenal Tuhan secara holistik yaitu sisi yang tak banyak diketahui orang. Pasalnya, banyak dari kita yang bertuhan tanpa mengenal Tuhan dan tanpa berusaha mengenal-Nya.

Resensi buku Tuhan Maha Asyik (Sumber : Ikp2muinmalang.com)
Resensi buku Tuhan Maha Asyik (Sumber : Ikp2muinmalang.com)
Dan dari keadaan ini, banyak memberi kesan seakan Tuhan "Maha Menyusahkan" atau "Maha Pemarah" hingga akhirnya beragama menjadi terkesan sulit dan berat.  Beriman bukan melulu tentang panjangnya doa, atau hal-hal formal lain. Bukan hanya tentang kesalehan individual melainkan juga sosial.

Dengan kata lain, umat beragama tentunya tidak boleh menghardik sesama umat beragama. Justru ia hadir untuk memberi kedamaian. Karena Tuhan hanya menginginkan manusia selalu mencintai dengan kesadaran dan menghilangkan kecurigaan serta kebencian.

Buku yang tebalnya 245 halaman ini diperankan oleh tokoh (Buchori, Kapitayan, Parwati, Christine, Samin, Dharma, dan Pangestu), yang berlatar belakang anak-anak sekolahan dengan gaya pemikiran kritis. Seperti anak kecil pada umumnya, mereka ingin tahu segala hal yang terjadi pada kehidupan mereka.

Dengan analogi-analogi sederhana sesederhana "Gincu" atau "Cacing" misalnya, penulis mencoba mengenal Tuhan dengan cara yang lebih asyik. Sehingga dalam belajar mengenal Tuhan, pembaca tidak terlalu dipusingkan dengan hal-hal maupun teori-teori di luar pemahaman mereka.

Dari 28 bab yang berjudul unik seperti "Wayang", "Zat", "Diri" serta judul-judul unik lainnya, buku ini memberi pesan bahwa makna berketuhanan tidak seharusnya dimonopoli. Sebab suatu kata, bahkan bahasa pada kenyataannya memiliki keterbatasan dalam menjelaskan suatu fakta. Dan bahwasanya pemaknaan Tuhan sebenarnya justru ditentukan oleh persepsi atau mindset yang juga dipengaruhi lingkungan sosial seperti pendidikan dan pengalaman.

Selanjutnya, secara tidak sadar melalui obrolan-obrolan Buchori dkk, Sujiwo Tejo dan Dr. Mn. Kamba telah menyeret pembaca untuk membuka pikiran serta ruang logika untuk mengkritisi segala dogma-dogma keagamaan yang selama ini disakralkan.

Ia menjelaskan bahwa Tuhan tidak perlu simbol, melainkan ekspresi berketuhanan yang tertuang dalam sikap dan perilaku sehari-hari yang kemudian melahirkan toleransi yang utuh dalam kemasyarakatan.

Pada bab "Diri", diselipkan penjelasan mengenai Tuhan yang mewujudkan kebaikan-Nya dalam bentuk cermin. Ketika manusia memandang cermin, tentu yang dilihan bukanlah cermin melainkan dirinya sendiri.

Maka ketika ia berbuat baik pada orang lain, sejatinya ia sedang berbuat baik kepada dirinya sendiri. Demikian ketika ia berbuat jahat kepada orang lain, justru sebenarnya ia sedang menyakiti dirinya sendiri.

Ditutup dengan bab "Mengingat", yaitu puncak dari segala bab yang membawa ajakan untuk terus mengingat Tuhan agar tidak terperangkap dalam cara pandang nafsu sendiri. Bahwa pada dasarnya mengingat Tuhan adalah mengingat kepada kesejatian diri. Untuk itu, hadirlah agama sebagai pembimbing umat manusia untuk kembali pada kesejatian diri masing-masing.

Selain pada bab-bab di atas, masih banyak bab lain dengan pembahasan serta analoginya yang asyik misalnya dalam menjawab pertanyaan siapakah yang seharusnya dikasihani? Orang yang dikasihani atau orang yang mengasihani yang tak lain dengan perasaan lebih tingginya dari yang dikasihani.

Kelebihan buku:

1. Bahasa khas budayawan yang implisit, namun tetap nyaman dan mudah dimengerti.

2. Analogi-analogi unik yang dibawa lewat tokoh anak-anak sehingga dalam pembacaannya menjadi ringan meskipun makna yang terkandung memiliki kajian teologi yang biasanya terkesan rumit dan membosankan.

3. Selain mudah dimengerti, buku ini dilengkapi dengan lukisan dari Sujiwo Tejo serta penjelasan filosofi dari kaca pandang penulis, sehingga menambah poin keunikan dari buku ini.

4. Buku ini hadir di saat yang tepat, yakni di saat bangsa ini dilanda intoleransi, saling membenci bahkan seringkali membajak Tuhan untuk bermain politik jangka pendek demi kepentingan suatu golongan. Karenanya, buku ini dapat menjadi cermin yang akan mengoreksi sikap beragama kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun