Mohon tunggu...
indah lutfiyati
indah lutfiyati Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hasil berfikir memang belum tentu benar, namun tidak berfikir justru tidak pernah ada yang membenarkan.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sebuah Resensi: Tuhan Maha Asyik

17 Januari 2020   21:49 Diperbarui: 12 Oktober 2023   11:03 14050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selanjutnya, secara tidak sadar melalui obrolan-obrolan Buchori dkk, Sujiwo Tejo dan Dr. Mn. Kamba telah menyeret pembaca untuk membuka pikiran serta ruang logika untuk mengkritisi segala dogma-dogma keagamaan yang selama ini disakralkan.

Ia menjelaskan bahwa Tuhan tidak perlu simbol, melainkan ekspresi berketuhanan yang tertuang dalam sikap dan perilaku sehari-hari yang kemudian melahirkan toleransi yang utuh dalam kemasyarakatan.

Pada bab "Diri", diselipkan penjelasan mengenai Tuhan yang mewujudkan kebaikan-Nya dalam bentuk cermin. Ketika manusia memandang cermin, tentu yang dilihan bukanlah cermin melainkan dirinya sendiri.

Maka ketika ia berbuat baik pada orang lain, sejatinya ia sedang berbuat baik kepada dirinya sendiri. Demikian ketika ia berbuat jahat kepada orang lain, justru sebenarnya ia sedang menyakiti dirinya sendiri.

Ditutup dengan bab "Mengingat", yaitu puncak dari segala bab yang membawa ajakan untuk terus mengingat Tuhan agar tidak terperangkap dalam cara pandang nafsu sendiri. Bahwa pada dasarnya mengingat Tuhan adalah mengingat kepada kesejatian diri. Untuk itu, hadirlah agama sebagai pembimbing umat manusia untuk kembali pada kesejatian diri masing-masing.

Selain pada bab-bab di atas, masih banyak bab lain dengan pembahasan serta analoginya yang asyik misalnya dalam menjawab pertanyaan siapakah yang seharusnya dikasihani? Orang yang dikasihani atau orang yang mengasihani yang tak lain dengan perasaan lebih tingginya dari yang dikasihani.

Kelebihan buku:

1. Bahasa khas budayawan yang implisit, namun tetap nyaman dan mudah dimengerti.

2. Analogi-analogi unik yang dibawa lewat tokoh anak-anak sehingga dalam pembacaannya menjadi ringan meskipun makna yang terkandung memiliki kajian teologi yang biasanya terkesan rumit dan membosankan.

3. Selain mudah dimengerti, buku ini dilengkapi dengan lukisan dari Sujiwo Tejo serta penjelasan filosofi dari kaca pandang penulis, sehingga menambah poin keunikan dari buku ini.

4. Buku ini hadir di saat yang tepat, yakni di saat bangsa ini dilanda intoleransi, saling membenci bahkan seringkali membajak Tuhan untuk bermain politik jangka pendek demi kepentingan suatu golongan. Karenanya, buku ini dapat menjadi cermin yang akan mengoreksi sikap beragama kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun