"Cakra Langit ... meredup?"
Nawala menunduk, meyakinkan apa yang telah dilihatnya dalam upacara penobatan. Kemudian, pandangannya tertuju pada manusia yang terlelap di teras. Dia mengernyit. Sejurus kemudian, pertanyaan berdebum di kepala. Keinginan hati, ingin bertanya. Namun, rasa hormat mengurungkan niat itu. Dan syukurlah, Kusuma menangkap apa yang ada dalam benaknya.
"Dia manusia yang tersesat di tengah rimba. Aku menemukannya saat dia sedang beradu dengan Maung. Dia bilang, dia ingin mengembalikan mustika milik ayahnya."
"Mustika?"
"Aku belum tahu mustika macam apa yang dia miliki. Sebelum aku datang, entah siapa yang telah merebutnya," terang Kusuma setelah mereka duduk di teras.
"Haruskah hamba mencari tahu tentang itu?"
"Sudahlah. Mungkin hanya mustika biasa. Toh dia ingin benda itu kembali ke hutan ini, bukan?" Kusuma menghela napas. "Beribu orang datang untuk mencari mustika, tapi dia malah hendak mengembalikannya. Dia juga ... tidak takut saat melihat wujud asliku."
Nawala terkejut. Bola matanya membulat. Silih berganti dia memandang kedua sosok di hadapannya. "Ya-yang Mulia, bagaimana bisa Yang Mulia menampakkan diri di depan manusia?"
"Semua terjadi begitu saja. Dengan gerbang waktu, aku akan menghapus ingatannya nanti. Saat ini, aku masih penasaran. Dia tidak takut padaku dan juga tidak menginginkan tubuhku. Dan mungkin ... ada hal lain yang menarik darinya."
"Tap-tapi ...."
"Nawala, bisakah kau membantuku? Keberadaannya bersamaku mungkin akan jadi masalah. Jadi, bisakah kau menyamarkan aroma tubuhnya?"