Bab 5
Gagak hitam, teman perjalanan hidupnya. Hewan yang setia dan cerdas. Dia juga pendengar dan penyusup yang baik. Kusuma mengelus pucuk kepala hingga punggung hewan pemakan bangkai itu. Ah, tidak. Nawala berbeda dari yang lain. Dia lebih menyukai ayam panggang ketimbang makhluk busuk.
Ketika teman baru Kusuma terlelap, burung itu menjauh. Tepat di bawah pohon pinus, tubuhnya menyala. Cahaya putih dan biru terpancar, meliuk dan berputar bak tarian dansa. Sesaat kemudian, sosok pria muncul di balik sinar yang kian meredup. Rambut panjang tergerai. Ada segaris warna biru di sisi kiri kepala lelaki itu, juga sehelai kain berwarna cokelat susu yang membujur dan terikat di belakang kepala. Kain hitam yang mengalung di lehernya, berkibar. Pun jubah yang dikenakan. Ada sabuk perak di perutnya, ukiran kepala gagak bermata berlian biru.
Boot hitamnya berayun, mendekati Kusuma. Dua langkah, lalu dia berlutut hormat di hadapan tuannya. "Salam untukmu, Yang Mulia."
"Salam juga untukmu, Nawala. Adakah kabar yang engkau bawa?"
Pria beriris hitam itu mendongak, bangkit kemudian. Narendra terpilih menjadi senapati.
Kusuma mengerutkan kening. "Bagaimana bisa Narendra yang terpilih? Inikah alasan kenapa aku dilarang hadir?"
"Hamba belum bisa menerka. Ada kemungkinan seperti apa yang dikatakan Yang Mulia. Dan ... saya melihat ada yang lain dalam diri Nyi Roro Kidul. Beliau tampak pucat. Padahal, sebelum tiba di Alas Purwo, wajahnya masih semringah," ucap Nawala sembari berjalan mengikuti arah Kusuma melangkah.
"Nyi Roro pucat? Apa Kanjeng Ratu menyadarinya?" Anting Kusuma gemerincing kala menoleh Nawala. Untaian perak berbentuk tetesan embun itu saling membentur, mengikuti gerak cepat pemilik telinga.
Nawala menggeleng pelan. Dalam diam dia kembali menelusur lembar-lembar memori. "Yang Mulia, saya melihat keanehan di tombak Cakra Langit. Berlian merahnya meredup."