Berdasarkan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan.  Segala  bentuk kekerasan, khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia yang tergolong sebagai kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan bentuk diskriminasi yang harus dihapus.Â
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT didefinisikan sebagai perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.Â
Pada umumnya, permasalahan tentang  kekerasan  dalam  rumah  tangga seringkali dilakukan oleh suami kepada isterinya. Kekerasan  dalam  rumah  tangga merupakan masalah yang sangat  kompleks dan berbeda dengan jenis kejahatan  lainnya, yang dimana  korban  dan  pelaku  berada dan terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat personal, legal dimata hukum, diikat oleh institusional  serta  berimplikasi pada lingkungan  sosial sekitarnya.
Berdasarkan data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan pada tahun 2020, tercatat bahwa KDRT dalam Ranah Personal masih menempati di urutan pertama dengan persentase sebesar 75,4% dibandingkan dengan ranah sosial lainnya. Sementara itu, bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah personal dengan kasus tertinggi adalah berupa kekerasan fisik yaitu sebanyak 4.783 kasus. Dari 11.105 kasus yang terdaftar, terdapat sebanyak 59% atau sekitar 6.555 kasus merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan kepada istri. Lebih lanjut, kekerasan terhadap anak perempuan juga meningkat sebanyak 13% yang didalamnya juga termasuk dilakukan terhadap pekerja rumah tangga.
Hampir semua kekerasan  dalam  rumah  tangga tidak akan terjadi  secara  spontanitas, kekerasan ini pastinya memiliki  sebab-sebab  tertentu  yang  menjadikan pelaku yang dalam hal laki-laki  melakukan tindakan kekerasan kepada perempuan (istri). Menurut penulis, terdapat beberapa penyebab  kekerasan  dalam  rumah  tangga bisa terjadi, antara lain:
Faktor Gender dan Budaya Patriarki
Permasalahan mengenai gender dan patriarki menjadi indikator penyebab utama kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi. Faktor ini akan menimbulkan relasi kuasa yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan karena adanya anggapan bahwa laki-laki lebih memiliki peran yang besar daripada perempuan. Ketimpangan ini berpengaruh pada kedudukan suami yang menganggap memiliki kekuasaan untuk dapat mengatur rumah tangga termasuk istri dan anak-anaknya. Anggapan inilah menjadikan laki-laki memiliki peluang yang besar untuk melakukan kekerasan.
Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, dan juga pendidikan menjadi faktor pendorong terjadinya masalah dalam lingkungan sosial. Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) masalah ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, pertumbuhan jumlah penduduk, dan sebagainya merupakan faktor penyebab terbanyak kasus KDRT terjadi dan pada umumnya dialami oleh perempuan yang berasal dari rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan yang cenderung rendah.Â
Hukum dan Perundang-undanganÂ
Secara umum, berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi dikarenakan komponen hukum yang berlaku saat ini, meliputi komponen substansial, struktural dan budaya hukum masyarakat sama sekali tidak responsif dan tidak memihak kepada kepentingan perempuan.Â
Salah satu contohnya dapat dilihat pada substansi hukum yang terdapat pada Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. KUHP tidak hanya membahas konsep "kekerasan berbasis gender" namun, juga tidak dapat menampung realitas kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat. Selain itu, sanksi yang diberikannya kepada pelaku juga dianggap tidak sesuai dengan tuntutan dan rasa keadilan masyarakat. Â Sehingga, dengan kata lain, undang-undang tersebut tidak mengakui adanya kekerasan terhadap perempuan (pasal 285, 286, 287, dan 288 KUHP).
Lebih lanjut, jika tidak segera diatasi, permasalahan ini dapat memberikan dampak yang besar terhadap anggota keluarga lainnya, yaitu anak. Anak-anak yang terlahir dalam keluarga yang dipenuhi dengan kekerasan, sangatlah rentan dan berbahaya karena kemungkinan-kemungkinan berikut: Pertama, laki-laki (suami) yang melakukan kekerasan kepada istrinya kemungkinan besar melakukan hal yang sama kepada anaknya. Sementara itu, perempuan (istri) yang mengalami kekerasan dan/atau penganiayaan dari pasangannya kemungkinan dapat melampiaskan kemarahan dan frustasi yang dialami kepada anak. Akibatnya, anak tidak akan mendapatkan rasa aman, nyaman, bahkan kasih sayang dalam hidupnya karena akan selalu diwarnai dengan kebingungan, ketegangan, ketakutan, kemarahan, dan ketidakjelasan tentang masa depan. Selanjutnya yang Kedua, anak-anak yang terbiasa dengan lingkungan keluarga yang dipenuhi dengan kekerasan akan terbiasa untuk hidup penuh dengan kekerasan sehingga mereka akan menjadikan hal tersebut sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah yang ada. Stigma dan kebiasaan ini kemungkinan besar akan dituruni oleh anak laki-laki yang ketika dewasa juga dapat akan melakukan hal yang sama kepada istri dan anaknya, sedangkan oleh anak perempuan bisa saja akan menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangganya kelak.
Salah satu contoh kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh laki-laki, dalam hal ini suami dapat dilihat dari kasus pembunuhan Mega Suryani Dewi pada Kamis, 7 September 2023. Dikutip dari Merdeka, Mega tewas di tangan suaminya sendiri yaitu Nando (25) di dalam rumah kontrakannya Jalan Cikedokan RT/RT 01/04, Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Bekasi. Berdasarkan keterangan pelaku, ia mengaku bahwa sebelum terjadi pembunuhan, korban sempat bertengkar dengan pelaku yang dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi rumah tangga mereka  yang tidak terpenuhi. Karena tidak mampu menahan kemarahan, pelaku akhirnya gelap mata dan menggorok leher korban hingga tewas. Selang dua hari dari kejadian tersebut, pelaku menyerahkan diri ke kantor polisi dan dijerat Pasal 399 KUHP, Pasal 5 Juncto Pasal 44 Ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 PKDRT dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara atau maksimal seumur hidup.
Referensi
Anwar, Laraswati Ariadne, "Laporan KDRT Meningkat Penanganan Belum Optimal", http://print.kompas.com/baca/2015/04/27/Laporan-KDRT-Meningkat%2c-Penanganan-Belum-Optimal
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2021). Menemukenali Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Diakses pada https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/menemukenali-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrtÂ
Camelia. (12 September 2023). Kronologi Pembunuhan Sadis Mega Suryani Dewi oleh Sang Suami, sempat cekcok karena masalah ekonomi. Liputan 6. Diakses pada https://www.liputan6.com/citizen6/read/5395282/kronologi-pembunuhan-sadis-mega-suryani-dewi-oleh-sang-suami-sempat-cekcok-karena-masalah-ekonomiÂ
Muhajarah, K.2020. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga; Perspektif Sosio-Budaya, Hukum, dan Agama. UIN Jakarta.
Rofiah, N. 2017. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Islam . Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 1 (Juni 2017): 31-44 Website: journal.uinsgd.ac.id/index.php/jw ISSN 2502-3489 (online) ISSN 2527-3213 (print)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H