Aku pergi pagi-pagi sekali, berbarengan dengan kokok ayam jantan kesayangan Bapak. Kokoknya semacam suara peluit, tanda keberangkatan kapal berlayar.
Tujuannya tak lain, ke rumah sahabatku, Manti. Sahabat yang tak pernah jemu mendengarkan segala dumelan atau kesemringahanku. Sebelumnya, sudah kuhangatkan singkong yang direbus semalam, kuletakkan di sisi kopi panas untuk Bapak di beranda.
***
"Oi, dia sampai juga. Selamat ulang tahun yaa, Manis." Manti merajuk, mencubit pipiku.
Manti tau benar, tak pernah ada ucapan ulang tahun lebih dulu dari rajukannya. Bertahun-tahun begitu, sejak Ibu, meninggalkan aku dan Bapak untuk selamanya.
"Emakku sedang masak nasi kuning. Katanya, Emak kepingin memberi sesuatu yang istimewa buatmu."
Meski cuma nasi kuning, bawang goreng dan bakwan sayur, kesibukan Emak Manti yang berasap-asap di dapur bikin aku terharu, sungguh haru sekali.
Meski tetap, yang aku rindukan sambal belacan. Sambal yang biasa Ibu bikin setiap aku bertambah umur.
Aku jadi kangen Ibu. Seraya aroma nasi kuning menyeruak sampai ke seluruh ruangan rumah Manti. Dan Gemericik suara minyak panas dituang adonan bakwan.
Tapi tak ada sambal belacan di antaranya. Sambal tradisi yang wanginya sangat legendaris, merasuk lembut ke hidung Bapak dan aku. Bikin nafsu makan berlipat-lipat.
Teringat Ibu bikin aku menitikkan air mata. Sedikit sesegukan. Kemudian lekas-lekas kutampik tetesnya yang hampir sampai ke sudut bibir.
Aku tak mau, Manti dan Emaknya melihat aku bersedih setelah apa yang mereka lakukan di hari ini.
Aku juga tak mau mengingat-ingat kebiasaan Bapak yang lupa tanggal 11 Juni. Tanggal kelahiran perempuan renung, Putrinya yang penyendiri.
Ahh, Biar bagaimana pun Bapak adalah Laki-laki pujaan Ibu. Bapak yang sama cueknya dengan watakku. Sama keras kepala dengan kepalaku yang batu.
Perayaan ulang tahun memang bukan hal sakral yang harus dilakukan. Tapi, setidaknya, Bapak mengingat hari kelahiran, Anaknya yang sudah piatu ini.
***
"Nasi kuning, bakwan sayur dan bawang goreng sudah siap. Ayok makan dulu!" Emak Manti semangat menggiring kami ke dapur.
Meja kayu sederhana. Empat kursi makan yang masih kokoh. Teh hangat yang memekarkan asap melati. Emak Manti sigap menyusun nasi kuning, bakwan empuk dan bawang goreng di hadapan kami.
Bismillah. Kami bertiga sangat lahap menyantap sajian sarapan pagi yang hampir kesiangan ini.
"Sungguh nikmat." Batinku.
Emak Manti memang jago memasak. Hampir mirip dengan masakan Ibu. Karna mereka memang bersahabat sejak remaja, seperti aku dan Manti.
Setelah nasi kuning diaduk bawang goreng dan beberapa keping bakwan tandas, aku berkicau haru pada Emak Manti.
"Sedap sekali. Hari ini jadi istimewa, Mak. Terima kasih sangat."
Aku cium tangan Emak Manti. Sembari jemarinya mengusap-usap rambutku.
***
Selesai bebenah dapur dan mencuci piring. Aku dan Manti sepakat menuju bukit hijau belakang rumah Manti. Bukit yang tetap bernama Hijau meski rumput-rumputnya nanti mengering. Kami biasa ngobrol panjang tentang apa saja di sana.
Emak berpesan, jangan kelewat Asar. Lekas pulang sebelum azan.
"Aku mau bermalam di rumahmu. Boleh, kan?"
"Malam ini aku dan Emak mau ke tempat Paman Sigi. Ada ngunduh mantu di rumahnya. Besok sajalah kamu balik sini, kita bikin kue bikang bersama."Â Manti memberikan pilihan. Aku cuma bisa setuju.
Menjelang Ashar. Kami bergegas menuruni bukit, sebelum toa Surau keburu bunyi. Sambil sesekali tertawa dan bersenandung, persis burung-burung pulang ke sarangnya.
***
"Setelah dari sini, kau mau ke mana?" Celetuk Manti sambil kami melipat talakung, ba'da Ashar.
"Aku malas pulang."
"Lagi-lagi karena kau kesal sama Bapakmu. Sudahlah. Jangan jadi sekam di batin. Bapakmu cuma tak pandai bermanis-manis."
***
Aku pun pamit. Dipayungi awan yang menanjak rembang. Tak lekas pulang, aku mampir ke perpustakaan desa untuk membaca beberapa buku. Sekadar bersilih supaya tak cepat tiba di rumah.
Aku pinjam dua buku untuk dibawa pulang. Aku perkirakan malam akan sama sepi, seperti malam-malam lalu. Ketika Bapak mulai pergi, bertugas menjaga kebun milik Kakek.
Aku perlu merayakan hari istimewa ini sendirian, barangkali dengan membaca buku, akan lebih asyik menyambut kantuk yang cuma menatap langit-langit kamar.
***
Di beranda yang menyala itu, tak terlihat asap rokok menyembul dan suara desis bara api berkedip-kedip. Beranda tempat Bapak biasa duduk menghabiskan waktu luang. Terkadang terasa jauh sekali dari kamarku, ruang bersendiri.
***
Sayup-sayup. Suara keletuk cowet  beradu seru.
"Bapak sudah menunggu sedari siang. Ini sedang Bapak hangatkan nasi liwetan dan ikan goreng. Maafkan Bapak, jika sambal belacan buatanku tak seenak bikinan Ibu."
"Selamat bertambah umur, Anakku."
Bapak sudah izin jauh hari, tak jaga kebun hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H