Kubaca surat cinta yang kutulis setahun lalu, seperti berkaca di sebuah cermin yang bening. Kesedihan dan kebahagiaan serupa baju, dengan warna-warna yang kupilih sendiri, kugurat sesuka hati.Â
Wahai diri yang kusayangi, bergaun merah sewarna mawar, kadang bergaun ungu dengan kehangatan alir-alir nadi. Daun-daun hijau yang menyegarkan, kelak layu dan gugur, kemudian musim yang santun menyuguhkan embun-embun.Â
Kebahagiaan selayaknya persembahan para pendoa, yang juga kulayarkan Ayat-ayat suci di suatu malam, benang hidup yang bersambung dari satu Surau ke Surau lainnya.Â
Tahun yang menua, diri yang dibatasi usia, keteguhan ada di dalam, sentuhlah sebuah cermin untuk melihat bayang-bayang.Â
Sedalam apa duka, seluas apa bahagia, langit yang anggun takkan lupa memenuhi janji, memberi hujan dan pelangi.Â
Kembang api merekah, meledak, bersorak. Surat cinta ini puncak kesyukuran kepada pahit manis kehidupan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H