Mohon tunggu...
Indah Ayu Nurkumala
Indah Ayu Nurkumala Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

An-Najm 39-41

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Korelasi Konsep Kepemimpinan Perempuan dan Kemitra Sejajaran Perempuan di Indonesia

24 Desember 2021   15:24 Diperbarui: 24 Desember 2021   15:37 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan 

Alquran sebagai petunjuk dan rahmat bagi seluruh umat manusia memberikan tempat yang sama kepada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Prestasi atau usaha individual baik dalam bidang spiritual maupun non spiritual tidak berarti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin, laki-laki dan perempuan secara bersama-sama dapat menjalankan tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.[1] Di mana tugas kekhalifahan tidak hanya dititik beratkan pada satu jenis kelamin saja, melainkan kepada seluruh umat manusia baik laki-laki maupun perempuan, dan tugas tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa adanya kerja sama yang baik pula antar keduanya. Sebagaimana yang telah Allah firmankan dalam surat al-Hujurat ayat 13, dari ayat ini dapat dipahami bahwa tidak ada yang dapat merendahkan atau meninggikan martabat seseorang kecuali bagaimana ia melakukan pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah. karena sejatinya manusia diciptakan sama sekalipun berasal dari suku atau bangsa yang berbeda, seperti halnya negara Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan budayanya.[2] Keadaan ini pula yang membuat kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai penduduk Indonesia memiliki berbagai variasi yang berbeda. Seperti halnya hukum adat yang berlaku pada suku Minangkabau yang menempatkan perempuan lebih dominan atau matriarkhat, juga ada yang menempatkan laki-laki lebih dominan atau patriakhat yaitu pada suku Batak dan Bali, terdapat pula yang memposisikan keduanya seimbang atau yang biasa disebut parental, yaitu pada suku Jawa. 

Keberagaman yang Allah sebutkan dalam ayat di atas dan bagaimana melihat kondisi di Indonesia yang juga sangat beragam adalah tujuan Allah tidak lain agar setiap manusia saling mengenal. Namun tidak hanya sebatas hal tersebut, dalam tulisan ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana korelasi antara kepemimpinan perempuan yang masih bersifat kontroversif dan perlu dikaji lebih lanjut. Pada bagian ini penulis menggunakan pandangan prof. Quraish Shihab sebagai tokoh mufassir nusantara kontemporer, mengingat pemimpin adalah suatu organ vital dalam kehidupan karena ia yang menentukan nasib yang dipimpinnnya terlebih melihat dalam kondisi sosio kultural Indonesia yang majemuk untuk kedepannya serta bagaimana konsep kemitrasejajaran perempuan di Indonesia.

 

Pembahasan

A. Kepemimpinan Perempuan

Kartini mengartikan pempimpin ialah seorang pribadi yang memiliki kelebihan dan kecakapan dalam suatu bidang, di mana ia dapat memepengaruhi orang lain untuk melakukan suatu aktivitas tertentu secara bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan.[3] Islam menyatakan secara tegas bahwa kepemimpinan adalah suatu variabel yang tidak boleh ditinggalkan dalam suatu pembangunan, baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.  

Kepemimpinan perempuan dalam kehidupan khusunya pemerintahan menjadikan sebuah permasalahan kontroversial di kalangan ulama, baik ulama klasik maupun kontemporer. Perbedaan pendapat ini merupakan akibat dari argumentasi ulama yang berbeda dalam mempertimbangkan maslahat dan mafsadah yang ditimbulkan dan implikasinya. Akan tetapi implikasi dari argumentasi inilah yang dapat melahirkan pemikira-pemikiran kreatif, inovatif, konstruktif perihal kesetaraan gender, khususnya di era saat ini.

Setiap pemimpin diharuskan memiliki dorongan untuk melakukan sebuah perubahan sehingga peran dan fungsi perempuan pada dasarnya sama dengan laki-laki. Seperti yang tertera surat an-Nisa' ayat 124:

 وَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُوْنَ نَقِيْرًا 

Artinya: "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun."

 

Menurut sudut pandang M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah, pada penjelasan ayat ini terdapat penggalan ayat (وَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ ) barang siapa yang mengerjakan sebagian amal-amal shalih. Kata pada penggalan ayat ini bermakna sebagian, untuk mengisyaratkan betapa besar rahmat Allah sehingga walau hanya sebagian, bukan semua amal-amal shalih yang demikian banyak diamalkan seseorang, maka itu telah dapat mengantarnya masuk ke surga ini dengan syarat bahwa dia adalah seorang mukmin. Dengan demikian penggalan ayat di atas dari satu sisi memperluas jangkauanya ketika menyatakan "barang siapa", dan dengan menggunakan kata min yang bermakna sebagian, tetapi dari sisi lain ayat ini mempersempit dengan memberikan syarat yang bersangkutan mukmin, berarti beriman dengan benar dan mantab, sehingga yang bersangkutan tidak saja dinamai orang yang beriman. Ada perbedaan antara kata mukmin dan orang yang beriman.[4]

 

Ayat ini secara tegas memberikan pernyataan tentang adanya kesetaraan antara pria dan wanita dalam segala hal baik usaha dan ganjaran. Pernyataan kesetaraan ini juga didukung dengan sebuah penafsiran pada surat at-Taubah :71.

 Pada ayat tersebut Allah menggunakan kata 'Auliya' yang juga dapat berarti (pemimpin), itu bukan hanya ditujukan kepada pihak laki-laki saja, tetapi keduanya secara bersamaan. Maka berdasarkan ayat ini, dapat disimpulkan perempuan juga bisa menjadi pemimpin, yang penting dia mampu memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin, karena menurut tafsir al-Maraghi dan tafsir al-Manar, bahwa kata 'Auliya' mencakup wali dalam arti penolong solidaritas dan kasih sayang. 

Dari surat at-Taubah ayat 71 dapat disimpulkan, bahwa Alquran tidak melarang perempuan untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru, dosen, pengusaha, menteri, hakim bahkan kepala Negara. Akan tetapi dalam tugasnya tetaplah memperhatikan hukum-hukum atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Alquran dan as-Sunnah, misalnya tidak terbengkalai urusan rumah tangganya, haruslah ada izin dan ridho suaminya bila ia sudah bersuami, guna menghindari efek negative terhadap diri dan agama.

Menurut M. Quraish Shihab menggambarkan dan mengimplementasikan jiwa-jiwa Islam walaupun tidak terwadah dalam pemerintahan Islam dapat disimpulkan sebagai bentuk kepemimpinan Islam. Kepemimpinan dalam Islam sendiri banyak disebutkan dengan berbagai istilah, seperti imamah, khalifah, wali, ulul amri, amir, dan, ra'in. Bersumber dari kata-kata kunci tersebut, maka analisis dan kesimpulan dari kepemimpinan yang ideal dalam Islam hendalnya memiliki karakter yang ideal dalam memimpin sebuah kegiatan organisasi, baik dalam ranah politik, ekonomi, bisnis, hukum, bahkan tata negara ataupun pemerintahan. Karekter ideal seoran pemimpin yang disebutkan dalam tafsir al-Mishbah ialah adil, berpegang teguh pada hukum Allah, berwawasan luas, toleransi, sehat jasmani dan rohani, visioner atau mempunyai pandangan yang jelas ke depannya, mempunyai wibawa, keberanian, kekuatan, dan kemampuan. Prinsipnya yaitu setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi persengketaan atau pertikaian di antara manusia, tanpa memandang jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja dilakukan.[5]

Tafsir surat an-Nisa ayat 34 menurut M. Quraish Shihab,[6] adalah kepimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa laki-laki sebagai pemimpin dalam suatu keluarga dengan dua pertimbangan, yaitu "karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain" yakni masing-masing memiliki keistimewaan. Akan tetapui keistimewaan laki-laki lebih menunjang tugas kepemimpinan dari pada keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan, adapun pertimbangan selanjutknya "karena laki-laki menafkahkan sebagian dari harta mereka". Pernyataan ini menggambarkan bahwa memberi nafkah kepada perempuan telah menjadi suatu kelaziman bagi laki-laki. Kata ar-rijal adalah bentuk jamak dari kata rajul yang biasa diterjemahkan dengan kata laki-laki, sekalipun Alquran tidak selalu menggunakan dalam arti tersebut banyak ulama memahami kata ini dengan arti para suami. Adapun kata arrijalu qawwamuna 'alannisa, tidak berarti lelaki secara umum karena konsideran pernyataan sebelumnya. Sebagaimana ditegaskan dalam lanjutan ayatnya adalah "karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta mereka" yakni untuk istri-istri mereka. Seandainya kata 'lelaki' adalah kaum pria secara umum, maka konsiderannya tidak demikian. Secara lebih jalas pada lanjutan ayatnya berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga.

Laki-laki dan perempuan adalah sama dan setara di hadapan Allah SWT. Benar adanya dalam Alquran disebutkan bahwa laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan, yakni dalam QS. An-Nisa ayat 34, akan tetapi kepemimpinan tersebut tidak boleh mengantarkan pada kesewenang-wenangan, karena pada satu sisi Alquran memerintahkan untuk saling tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi yang lain Alquran memerintahkan untuk melakukan musyawarah dalam menyelesaikan setiap persoalan, merupakan konsep kepemimpinan laki-laki dan perempuan menurut M. Qurais Shibab.[7]

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kepemimpinan bukan hak laki-laki semata, akan tetapi perempuan juga dapat menjadi pemimpin dan penafsiran ayat masih bersifat kontroversi. Sehingga dalam memperjuangan hak perempuan masih terbuka luas agar tidak memunculkan lagi perilaku penindasan hak perempuan di berbagai belahan dunia. Perempuan boleh menjadi pemimpin di ranah domestik jika laki-laki tidak mampu melaksanakannya. Dan di ranah publik perempuan boleh menjadi pemimpin pada batas-batas tertentu selama ia mampu menjaga fitrahnya. Perempuan boleh mengekspresikan dirinya di dalam segala ruang termasuk kepemimpinan, hanya saja sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan sebagai perempuan, ada baiknya kita mengerti dan menyadari ada batasan-batasan yang telah diporsikan Tuhan untuk perempuan, seperti ketaatan pada suaminya. Sejatinya tidak ada pergesaran penafsiran dari ulama tafsir Indonesia, melalui sebuah klausa bahwa perempuan yang semula tidak diizinkan untuk keluar rumah, tidak diizinkan menjadi pemimpin dan bentuk deskriminasi lainnya, namun pada dasarnya penafsiran M. Quraish Shihab tidaklah bersifat patriarki, sehingga pelarang tersebut tidak terjadi di negara Indonesia. Sejak proklamasi Indonesia perempuan memang memiliki posisinya sendiri dan tidak diberikan perlakuan sebagaimana kaum jahiliah dahulu. Dapat dilihat dengan turut sertanya para tokoh perempuan pembela kemerdekaan seperti Cut Nyak Dien, tokoh eman sipasi wanita yaitu R.A. Kartini, dan tokoh perempuan yang pernah memimpin negara Indoensia seperti mantan presiden Megawati Soekarnoputri. Penafsiran yang dilakukan oleh prof. M. Qurais Shibab dilakukan dengan melihat beberapa faktor yang terjadi di negara Indnonesia, seperti faktor sosio-kultural yang menyelimuti kondisi negara saat penafsiran dilakukan.

B. Kemitrasejajaran Perempuan di Indonesia

Kemitraan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata yang memiliki makna jalinan kerja sama. Adapun kata sejajar adalah sepadan dengan sebaris, sederet dan sejalan, yang artinya sama arah dan jarak, sama sederajat, sama setingkat dan paralel.[8] Dengan demikian kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga dapat diartikan sebagai jalinan kerja sama antara suami dan istri. Sebagaimana sistem kehidupan rumah tangga pada umumnya, suami mencari nafkah dan istri  mengurus rumah, maka hal ini pun mencermikan jalinan kerja sama.

Menurut Subhan, kemitrasejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan terjadi saat terciptanya kondisi dinamis, mana kala keduanya memiliki kesetaraan hak dan kewajiban, peranan dan kesempatan yang dilandasi sikap dan prilaku saling membantu, saling menghormati, dan saling menghargai dalam berbagai  bidang, serta tidak berlandaskan persaingan sehingga menciptakan sifat otoriter pada salah satu pihak.[9] 

Dikutip dari sebagaimana yang telah disampaikan oleh Purwanto, bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan atau keadilan gender merupakan isu yang terus dibahas dan diperjuangkan dalam Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia, di mana Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk menghapuskan deskriminasi gender di Indonesia. Hal ini memiliki arti bahwa adanya kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam kebebasan mengakses berbagai informasi, berpartisipasi, berpartisipasi dalam berbagai bidang, mengontrol dan juga memperoleh manfaat pembangunan. [10]

Sistem perundang-undangan Indonesia atau juga bisa disebut sistem implementasi regulasi memandang kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan bermula dan tumbuh pada era Repelita IV, yang lahir dari pemikiran Menteri Negara Urusan Wanita, Ny. Lasiah Sutanto SH, (almh.). Melalui gagasan tersebut kemudian disusun menjadi konsep dan diperjuangkan oleh anggota MPR, sehingga dapat dituangkan dalam ketetapan MPR, yakni dalam TAP MPR nomor II/TAP/1993 tentang Garis Besar Haluan Negara pada era Repelita V. Kemitrasejajaran ini dicanangkan sebagai strategi untuk mencapai sasaran dan tujuan peningkatan kedudukan dan peranan perempuan dalam segala bidang, karena masih banyak kesenjangan dalam hak maupun kewajiban antara laki-laki dan perempuan.[11]

Cerminan dari prinsip kemitrasejajaran tertuang dalam beberapa hal, diantaranya adalah dalam Eka Prasetya Pancakarsa (1978), Falsafah bangsa dan negara Pancasila sebagai landasan idil, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, dan GBHN sebagai landasan oprasional, di mana kemitrasejajaran adalah menempatkan perempuan sebagai warga negara yang mempunyai kedudukan, keluhuran kodrat, harkat, martabat, mempunyai hak dan kewajiban serta peranan yang sama, karena antara laki-laki dan perempuan sebagai mitra adalah sejajar. Kemitrasejajaran juga telah dicanangkan oleh presiden Soeharto sebagai tema pidatonya pada acara peringatan Hari Ibu yang ke 67 di Mojokerto Jawa Timur.

Pada dasarnya kemitrasejajaran telah ditetapkan dalam empat perundang-undangan Indonesia, yaitu UUD 1945 pasal 27-34; Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 dan tap MPR Nomor II/MPR/1993; Undang-Undang; dan Peraturan pemerintahan.[12]

Undang-Undang Dasar 1954 pada pasal 27-34 menyatakan bahwa semua warga Negara berkedukan sama, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian UUD 1945 menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai mitra sejajar.

Ketetapan perundang-undangan tingkat kedua setelah UUD 1945 adalah ketetapan MPR. Pada dua ketetapan MPR tersebut dapat diamati bahwa peranan perempuan dalam pembangunan pada PJPT I dan PJPT II yaitu Tap MPR Nomor II/MPR/1998 pada butir 10, sedangkan dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 terdapat pada butir 9, 13, dan 32.[13] Ketetapan tersebut pada mulanya menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai mitra sejajar, namun pada akhir kalimat masih diikuti dengan sebuah pernyataan bahwa kemitrasejajaran tersebut "sesuai atau dengan memperhatiakn kodrat, harkat, dan martabatnya seseorang sebagai perempuan."

Tingakat ke tiga sistem perundang-undangan yang mengatur kedudukan laki-laki dan perempuan adalah Undang-Undang nomor 1 tahun 1974, peraturan pemerintah (PP) nomor 9 tahun 1975 dan PP nomor 10 tahun 1990, pasal 31 UU 1/1974, ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa perempuan atau istri merupakan mitrasejajar dari laki-laki atau suami, sedangkan dalam ayat (3) menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri menjadi ibu rumah tangga, sehingga dalam masyarakat lahir pemahaman yang kurang menguntungkan.

Pemerintah Indonesia secara resmi dalam Garis Besar Haluan Negara tahun 1998 BAB IV F Pasal 4g, mengakui perbedaan peran secara seksual antar laki-laki dan perempuan, serta menyatakan bahwa peran serta kaum perempuan dalam proses pembangunan dan reformasi harus selaras dan serasi dengan peran mereka dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga pada umumnya, dan pendidikan generasi muda secara khusus. Pada kalimat terakhir mangindikasikan adanya peran ganda yang diberikan kepada perempuan, di mana perempuan tidak hanya bertanggung jawab atas urusan rumah tangga tetapi juga diharapkan beraktifias diluar rumah sebagai anggota masyarakat. Meskipun telah diakui secara yuridis, akan tetapi praktek dan implementasinya belum maksimal, ketimpangan selalu muncul dan mengindikasikan kaum perempuan mengalami deskriminasi baik dari kaum laki-laki maupun dari kaum perempuan sendiri, dengan demikian telah menjadi sebuah keniscayaan dalam wacana Indonesia kepada kaum perempuan untuk mendapat tempat istimewa dalam kedudukan hukum dan kemitrasejajaran perannya dengan laki-laki.[14]

Kemitrasejajaran di Indonesia telah di atur sedemikian rupa dalam berbagai ketentuan hukumnya, maka kepada pelanggarnya juga terdapat hukuman yang berlaku di setiap pasalnya. Begitu pula pada penerapannya dapat dilihat pada beberapa sektor bagaimana kesetaran gender hidup di Indonesia. Sebagaimana PT. Telkom yang mendapat penghargan dari UN Women soal kesetaraan gender (25 Oktobr 2021), Pemkab Ponorogo mendapat penghargaan atas kesetaraan gender (13 Oktober 2021), Kota Mojokerto meraih penghargaan kesetaraan gender dari KPPPA (11 Oktober 2021), wakil ketua MPR mendorong kiprah perempuan di bidang politik (31 Agustus 2021), dan lain sebagainya. Sebagaiman PT Telkom Indonesia yang mendapat penghargaan dalam ajang Women's Emprovement Principles (WEPs) Awards yang diadakan oelh UN Women Indonesia. Penghargaan tersebut diberikan karena Telkom dinilai sebagai perusahaan yang mempomosikan kesetaraan gender di lingkungan kerja. Upaya yang telah dilakukan oleh PT Telkom Indonesia yaitu melakukan pendekatan inovativ untuk perekrutan yang setara dan nondiskriminatif, mendukung kesetaraan peran perempuan dan laki-laki untuk menjalankan tugas, menyediakan pengaruran kerja yang fleksibel, menjamin keselamatan dan kesejahteraan karyawan baik laki-laki maupun perempuan, mengurangi kesenjangan upah berdasarkan gender serta mendorong perkembangan karir dan kepemimpinan perempuan.[15] Hal positif demikian dapat menjadi arus yang baik dalam dunia kerja, diharapkan dapat menjadi contoh untuk setiap tempat kerja mengusung kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan untuk tercapainya kenyamanan dalam dunia kerja.

Kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajibannya tidak lantas menempatkan keduanya pada kedudukan yang sama persis, terlebih dalam sebuah rumah tangga sebagaimana yang disampaikan oleh M. Quraush Shihab jika hubungan suami istri laksana sepasang anting, apabila hanya sebelah maka tidak berfungsi sebagai perhiasan. 

 

Analisis dan Simpulan 

Kepemimpinan perempuan dalam kehidupan khusunya pemerintahan menjadikan sebuah permasalahan kontroversial di kalangan ulama klasik dan kontemporer. Perbedaan pendapat ini merupakan akibat dari argumentasi ulama yang berbeda dalam mempertimbangkan maslahat dan mafsadah yang ditimbulkan serta implikasinya. Menurut M. Quraish Shihab karekter ideal seorang pemimpin ialah adil, berpegang teguh pada hukum Allah, berwawasan luas, toleransi, sehat jasmani dan rohani, visioner atau mempunyai pandangan yang jelas ke depannya, mempunyai wibawa, keberanian, kekuatan, dan kemampuan. Prinsipnya yaitu setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi persengketaan atau pertikaian di antara manusia, tanpa memandang jenis kelamin. Maka dengan demikian diperbolehkan bagi perempuan untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru, dosen, pengusaha, menteri, hakim bahkan kepala Negara. Akan tetapi dalam tugasnya tetaplah memperhatikan hukum-hukum atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Alquran dan as-Sunnah, misalnya tidak terbengkalai urusan rumah tangganya, haruslah ada izin dan ridho suaminya bila ia sudah bersuami, guna menghindari efek negative terhadap diri dan agama. Hal ini merupakan salah satu contoh dari kemitrasejajaran perempuan di Indonesia.

Kemitrasejajaran di Indonesia telah diatur dalam beberapa ketentuan badan hukumnya. Adapun prinsip kemitrasejajaran di Indonesia yang berarti "Menempatkan perempuan sebagai warga negara yang memiliki kedudukan, keluhuran, kodrat, harkat, dan martabat yang sama dengan laki-laki. Karena laki-laki dan perempuan sebagai mitra adalah sejajar." Tercermin dalam Eka Prasetya Pancaaksara (Landsan Idi)l; UUD 1945 (Landasan Konstitusional); dan dalam GBHN (Landasan Operasional). Sedangkan dasar dari kemitrasejajaran di Indonesia sendiri ditetapkan dalam empat perundang-undangan. Tingkat pertama yaitu dalam UUD 1945 pada pasal 27-34. Tingkat kedua yaitu dalam dua ketetapan MPR, yakni TAP MPR Nomor II/ MPR/ 1988 dalam butir ke 10 dan TAP MPR Nomor II/ MPR/ 1993 dalam butir ke 9, 13, dan 32. Tingkat ketiga yakni dalam Sistem Perundang-Undangan No, 1 Tahun 1974, dalam peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan No. 10 Tahun 1990, Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 ayat 1. Dalam hal ini terlihat bagaimana Indonesia memberikan tempat kepada perempuan sebagai mitra yang sejajar dengan laki-laki, segala aturan hukumnya sudah termaktub jelas dalam setiap landasannya, maka dari itu juga terdapat ketentuan hukum atas pelanggarannya. Dengan demikian dapat dilihat bagaimana korelasi antara dilegalkannya seorang perempuan untuk menjadi pemimpin dengan memperhatikan idealisme sosok pemimpin dan aspek lainnya, maka negara Indonesia turut mendukung dan melindunginya dengan berbagai pasal dalam Undang-Undang peraturan kemitrasejajarannya.

 

Daftar Pustaka

Firdaus, Endis. "Kemitrasejajaran Peran Gender dalam Wacana Legalitas Indonesia,"  Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta'lim, Vol. 10, No. 2, 2012.Muhsin, Amina Gusmakin, Muhammad. "Kemitrasejajaran Perempuan dan Laki-Laki dalam Perspektif Hukum Islam," Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010.

 

Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.

 

Mufarikhin dan Siti Malaiha Dewi, "Kepemimpinan Perempuan Muslim dalam  Diskursus Pemikiran Kontemporer," Politea: Jurnal Pemikiran Politik Islam, Vol. 4, No. 1. 2021.

 

Peter, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud, 1990.

 

Purwanto, Tinggal. "Kesetaraan Gender dan Relasi Kuasa dalam Tafsir Alquran    Tematik Kementrian Agama Republik Indonesia,"  Jurnal Palastren, Vol 12, No. 1. Juni, 2019.

 

Sari, Dwi Ratna "Gender dalam Perspektif Alquran," Jurnal Humanika, Vol. 1, No. 1. Maret, 2018.

 

Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an. Jilid 1. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

 

Shihab, M. quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an. Jilid       2. Jakarta: Lentera Hati, 2005.

 

Subhan, Zaitunah. Al-Quran & Perempuan. Jakarta: Pramedia Group, 2015.

 

Wadud, Amina. Qur'an and Woman. Terj: Ali Abdullah. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006.

 

Wartini, Atik. "Tafsir Feminis M. Quraish Shihab: Tela'ah Ayat-Ayat Gender dalam Tafsir Al-Mishbah," Jurnal Plastren. Vol. 6, No. 2. 2013.

 

Angga Laraspati, https://inet.detik.com/telecommunication/d-5782351/telkom-dapat- penghargaan-dari-un-women-soal-kesetaraan-gender , diakses pada Senin, 1 November 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun