Kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajibannya tidak lantas menempatkan keduanya pada kedudukan yang sama persis, terlebih dalam sebuah rumah tangga sebagaimana yang disampaikan oleh M. Quraush Shihab jika hubungan suami istri laksana sepasang anting, apabila hanya sebelah maka tidak berfungsi sebagai perhiasan.Â
Â
Analisis dan SimpulanÂ
Kepemimpinan perempuan dalam kehidupan khusunya pemerintahan menjadikan sebuah permasalahan kontroversial di kalangan ulama klasik dan kontemporer. Perbedaan pendapat ini merupakan akibat dari argumentasi ulama yang berbeda dalam mempertimbangkan maslahat dan mafsadah yang ditimbulkan serta implikasinya. Menurut M. Quraish Shihab karekter ideal seorang pemimpin ialah adil, berpegang teguh pada hukum Allah, berwawasan luas, toleransi, sehat jasmani dan rohani, visioner atau mempunyai pandangan yang jelas ke depannya, mempunyai wibawa, keberanian, kekuatan, dan kemampuan. Prinsipnya yaitu setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi persengketaan atau pertikaian di antara manusia, tanpa memandang jenis kelamin. Maka dengan demikian diperbolehkan bagi perempuan untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru, dosen, pengusaha, menteri, hakim bahkan kepala Negara. Akan tetapi dalam tugasnya tetaplah memperhatikan hukum-hukum atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Alquran dan as-Sunnah, misalnya tidak terbengkalai urusan rumah tangganya, haruslah ada izin dan ridho suaminya bila ia sudah bersuami, guna menghindari efek negative terhadap diri dan agama. Hal ini merupakan salah satu contoh dari kemitrasejajaran perempuan di Indonesia.
Kemitrasejajaran di Indonesia telah diatur dalam beberapa ketentuan badan hukumnya. Adapun prinsip kemitrasejajaran di Indonesia yang berarti "Menempatkan perempuan sebagai warga negara yang memiliki kedudukan, keluhuran, kodrat, harkat, dan martabat yang sama dengan laki-laki. Karena laki-laki dan perempuan sebagai mitra adalah sejajar." Tercermin dalam Eka Prasetya Pancaaksara (Landsan Idi)l; UUD 1945 (Landasan Konstitusional); dan dalam GBHN (Landasan Operasional). Sedangkan dasar dari kemitrasejajaran di Indonesia sendiri ditetapkan dalam empat perundang-undangan. Tingkat pertama yaitu dalam UUD 1945 pada pasal 27-34. Tingkat kedua yaitu dalam dua ketetapan MPR, yakni TAP MPR Nomor II/ MPR/ 1988 dalam butir ke 10 dan TAP MPR Nomor II/ MPR/ 1993 dalam butir ke 9, 13, dan 32. Tingkat ketiga yakni dalam Sistem Perundang-Undangan No, 1 Tahun 1974, dalam peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan No. 10 Tahun 1990, Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 ayat 1. Dalam hal ini terlihat bagaimana Indonesia memberikan tempat kepada perempuan sebagai mitra yang sejajar dengan laki-laki, segala aturan hukumnya sudah termaktub jelas dalam setiap landasannya, maka dari itu juga terdapat ketentuan hukum atas pelanggarannya. Dengan demikian dapat dilihat bagaimana korelasi antara dilegalkannya seorang perempuan untuk menjadi pemimpin dengan memperhatikan idealisme sosok pemimpin dan aspek lainnya, maka negara Indonesia turut mendukung dan melindunginya dengan berbagai pasal dalam Undang-Undang peraturan kemitrasejajarannya.
Â
Daftar Pustaka
Firdaus, Endis. "Kemitrasejajaran Peran Gender dalam Wacana Legalitas Indonesia," Â Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta'lim, Vol. 10, No. 2, 2012.Muhsin, Amina Gusmakin, Muhammad. "Kemitrasejajaran Perempuan dan Laki-Laki dalam Perspektif Hukum Islam," Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010.
Â
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Â