Menurut sudut pandang M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah, pada penjelasan ayat ini terdapat penggalan ayat (وَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ ) barang siapa yang mengerjakan sebagian amal-amal shalih. Kata pada penggalan ayat ini bermakna sebagian, untuk mengisyaratkan betapa besar rahmat Allah sehingga walau hanya sebagian, bukan semua amal-amal shalih yang demikian banyak diamalkan seseorang, maka itu telah dapat mengantarnya masuk ke surga ini dengan syarat bahwa dia adalah seorang mukmin. Dengan demikian penggalan ayat di atas dari satu sisi memperluas jangkauanya ketika menyatakan "barang siapa", dan dengan menggunakan kata min yang bermakna sebagian, tetapi dari sisi lain ayat ini mempersempit dengan memberikan syarat yang bersangkutan mukmin, berarti beriman dengan benar dan mantab, sehingga yang bersangkutan tidak saja dinamai orang yang beriman. Ada perbedaan antara kata mukmin dan orang yang beriman.[4]
Ayat ini secara tegas memberikan pernyataan tentang adanya kesetaraan antara pria dan wanita dalam segala hal baik usaha dan ganjaran. Pernyataan kesetaraan ini juga didukung dengan sebuah penafsiran pada surat at-Taubah :71.
Pada ayat tersebut Allah menggunakan kata 'Auliya' yang juga dapat berarti (pemimpin), itu bukan hanya ditujukan kepada pihak laki-laki saja, tetapi keduanya secara bersamaan. Maka berdasarkan ayat ini, dapat disimpulkan perempuan juga bisa menjadi pemimpin, yang penting dia mampu memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin, karena menurut tafsir al-Maraghi dan tafsir al-Manar, bahwa kata 'Auliya' mencakup wali dalam arti penolong solidaritas dan kasih sayang.
Dari surat at-Taubah ayat 71 dapat disimpulkan, bahwa Alquran tidak melarang perempuan untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru, dosen, pengusaha, menteri, hakim bahkan kepala Negara. Akan tetapi dalam tugasnya tetaplah memperhatikan hukum-hukum atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Alquran dan as-Sunnah, misalnya tidak terbengkalai urusan rumah tangganya, haruslah ada izin dan ridho suaminya bila ia sudah bersuami, guna menghindari efek negative terhadap diri dan agama.
Menurut M. Quraish Shihab menggambarkan dan mengimplementasikan jiwa-jiwa Islam walaupun tidak terwadah dalam pemerintahan Islam dapat disimpulkan sebagai bentuk kepemimpinan Islam. Kepemimpinan dalam Islam sendiri banyak disebutkan dengan berbagai istilah, seperti imamah, khalifah, wali, ulul amri, amir, dan, ra'in. Bersumber dari kata-kata kunci tersebut, maka analisis dan kesimpulan dari kepemimpinan yang ideal dalam Islam hendalnya memiliki karakter yang ideal dalam memimpin sebuah kegiatan organisasi, baik dalam ranah politik, ekonomi, bisnis, hukum, bahkan tata negara ataupun pemerintahan. Karekter ideal seoran pemimpin yang disebutkan dalam tafsir al-Mishbah ialah adil, berpegang teguh pada hukum Allah, berwawasan luas, toleransi, sehat jasmani dan rohani, visioner atau mempunyai pandangan yang jelas ke depannya, mempunyai wibawa, keberanian, kekuatan, dan kemampuan. Prinsipnya yaitu setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi persengketaan atau pertikaian di antara manusia, tanpa memandang jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja dilakukan.[5]
Tafsir surat an-Nisa ayat 34 menurut M. Quraish Shihab,[6] adalah kepimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa laki-laki sebagai pemimpin dalam suatu keluarga dengan dua pertimbangan, yaitu "karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain" yakni masing-masing memiliki keistimewaan. Akan tetapui keistimewaan laki-laki lebih menunjang tugas kepemimpinan dari pada keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan, adapun pertimbangan selanjutknya "karena laki-laki menafkahkan sebagian dari harta mereka". Pernyataan ini menggambarkan bahwa memberi nafkah kepada perempuan telah menjadi suatu kelaziman bagi laki-laki. Kata ar-rijal adalah bentuk jamak dari kata rajul yang biasa diterjemahkan dengan kata laki-laki, sekalipun Alquran tidak selalu menggunakan dalam arti tersebut banyak ulama memahami kata ini dengan arti para suami. Adapun kata arrijalu qawwamuna 'alannisa, tidak berarti lelaki secara umum karena konsideran pernyataan sebelumnya. Sebagaimana ditegaskan dalam lanjutan ayatnya adalah "karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta mereka" yakni untuk istri-istri mereka. Seandainya kata 'lelaki' adalah kaum pria secara umum, maka konsiderannya tidak demikian. Secara lebih jalas pada lanjutan ayatnya berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga.
Laki-laki dan perempuan adalah sama dan setara di hadapan Allah SWT. Benar adanya dalam Alquran disebutkan bahwa laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan, yakni dalam QS. An-Nisa ayat 34, akan tetapi kepemimpinan tersebut tidak boleh mengantarkan pada kesewenang-wenangan, karena pada satu sisi Alquran memerintahkan untuk saling tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi yang lain Alquran memerintahkan untuk melakukan musyawarah dalam menyelesaikan setiap persoalan, merupakan konsep kepemimpinan laki-laki dan perempuan menurut M. Qurais Shibab.[7]
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kepemimpinan bukan hak laki-laki semata, akan tetapi perempuan juga dapat menjadi pemimpin dan penafsiran ayat masih bersifat kontroversi. Sehingga dalam memperjuangan hak perempuan masih terbuka luas agar tidak memunculkan lagi perilaku penindasan hak perempuan di berbagai belahan dunia. Perempuan boleh menjadi pemimpin di ranah domestik jika laki-laki tidak mampu melaksanakannya. Dan di ranah publik perempuan boleh menjadi pemimpin pada batas-batas tertentu selama ia mampu menjaga fitrahnya. Perempuan boleh mengekspresikan dirinya di dalam segala ruang termasuk kepemimpinan, hanya saja sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan sebagai perempuan, ada baiknya kita mengerti dan menyadari ada batasan-batasan yang telah diporsikan Tuhan untuk perempuan, seperti ketaatan pada suaminya. Sejatinya tidak ada pergesaran penafsiran dari ulama tafsir Indonesia, melalui sebuah klausa bahwa perempuan yang semula tidak diizinkan untuk keluar rumah, tidak diizinkan menjadi pemimpin dan bentuk deskriminasi lainnya, namun pada dasarnya penafsiran M. Quraish Shihab tidaklah bersifat patriarki, sehingga pelarang tersebut tidak terjadi di negara Indonesia. Sejak proklamasi Indonesia perempuan memang memiliki posisinya sendiri dan tidak diberikan perlakuan sebagaimana kaum jahiliah dahulu. Dapat dilihat dengan turut sertanya para tokoh perempuan pembela kemerdekaan seperti Cut Nyak Dien, tokoh eman sipasi wanita yaitu R.A. Kartini, dan tokoh perempuan yang pernah memimpin negara Indoensia seperti mantan presiden Megawati Soekarnoputri. Penafsiran yang dilakukan oleh prof. M. Qurais Shibab dilakukan dengan melihat beberapa faktor yang terjadi di negara Indnonesia, seperti faktor sosio-kultural yang menyelimuti kondisi negara saat penafsiran dilakukan.
B. Kemitrasejajaran Perempuan di Indonesia