Pendahuluan
Alquran sebagai petunjuk dan rahmat bagi seluruh umat manusia memberikan tempat yang sama kepada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Prestasi atau usaha individual baik dalam bidang spiritual maupun non spiritual tidak berarti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin, laki-laki dan perempuan secara bersama-sama dapat menjalankan tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.[1] Di mana tugas kekhalifahan tidak hanya dititik beratkan pada satu jenis kelamin saja, melainkan kepada seluruh umat manusia baik laki-laki maupun perempuan, dan tugas tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa adanya kerja sama yang baik pula antar keduanya. Sebagaimana yang telah Allah firmankan dalam surat al-Hujurat ayat 13, dari ayat ini dapat dipahami bahwa tidak ada yang dapat merendahkan atau meninggikan martabat seseorang kecuali bagaimana ia melakukan pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah. karena sejatinya manusia diciptakan sama sekalipun berasal dari suku atau bangsa yang berbeda, seperti halnya negara Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan budayanya.[2] Keadaan ini pula yang membuat kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai penduduk Indonesia memiliki berbagai variasi yang berbeda. Seperti halnya hukum adat yang berlaku pada suku Minangkabau yang menempatkan perempuan lebih dominan atau matriarkhat, juga ada yang menempatkan laki-laki lebih dominan atau patriakhat yaitu pada suku Batak dan Bali, terdapat pula yang memposisikan keduanya seimbang atau yang biasa disebut parental, yaitu pada suku Jawa.
Keberagaman yang Allah sebutkan dalam ayat di atas dan bagaimana melihat kondisi di Indonesia yang juga sangat beragam adalah tujuan Allah tidak lain agar setiap manusia saling mengenal. Namun tidak hanya sebatas hal tersebut, dalam tulisan ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana korelasi antara kepemimpinan perempuan yang masih bersifat kontroversif dan perlu dikaji lebih lanjut. Pada bagian ini penulis menggunakan pandangan prof. Quraish Shihab sebagai tokoh mufassir nusantara kontemporer, mengingat pemimpin adalah suatu organ vital dalam kehidupan karena ia yang menentukan nasib yang dipimpinnnya terlebih melihat dalam kondisi sosio kultural Indonesia yang majemuk untuk kedepannya serta bagaimana konsep kemitrasejajaran perempuan di Indonesia.
Pembahasan
A. Kepemimpinan Perempuan
Kartini mengartikan pempimpin ialah seorang pribadi yang memiliki kelebihan dan kecakapan dalam suatu bidang, di mana ia dapat memepengaruhi orang lain untuk melakukan suatu aktivitas tertentu secara bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan.[3] Islam menyatakan secara tegas bahwa kepemimpinan adalah suatu variabel yang tidak boleh ditinggalkan dalam suatu pembangunan, baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Kepemimpinan perempuan dalam kehidupan khusunya pemerintahan menjadikan sebuah permasalahan kontroversial di kalangan ulama, baik ulama klasik maupun kontemporer. Perbedaan pendapat ini merupakan akibat dari argumentasi ulama yang berbeda dalam mempertimbangkan maslahat dan mafsadah yang ditimbulkan dan implikasinya. Akan tetapi implikasi dari argumentasi inilah yang dapat melahirkan pemikira-pemikiran kreatif, inovatif, konstruktif perihal kesetaraan gender, khususnya di era saat ini.
Setiap pemimpin diharuskan memiliki dorongan untuk melakukan sebuah perubahan sehingga peran dan fungsi perempuan pada dasarnya sama dengan laki-laki. Seperti yang tertera surat an-Nisa' ayat 124:
وَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُوْنَ نَقِيْرًا
Artinya: "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun."