Lepas dari bangku kuliah, kami tetap berkomunikasi. Kami masih saling bercerita. Ia banyak cerita tentang kerjaannya (waktu itu ia mengajar di sebuah playgroup) dan juga kisah percintaannya. Waktu terus berjalan dan aku selalu menjadi pendengar setia dan penyemangatnya.
Malapetaka itu berawal ketika ia dipecat dari pekerjaannya. Ia merasa galau karena masih harus melunasi kredit motor. Tidak hanya itu, ia juga baru saja putus dari pacarnya. Ia menggalau karena berpikir dirinya sudah tua dan berpikir kapan ia akan menikah. Saat itu aku juga belum punya kerjaan tetap dan juga jomblo. Aku berulangkali meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Aku bilang padanya agar tidak usah kuatir akan rejeki, selagi kita mau berusaha pasti bisa. Bahkan aku berniat memberikan anak didikku untuknya. Mengenai menikah, kukatakan kepadanya bahwa ia masih sangat muda baru 25 tahun, ia cantik, dan sebaiknya menunggu sampai menemukan orang yang benar-benar tepat untuknya.
Beberapa bulan setelah kejadian itu sampai sekarang, ia menyesali keputusannya. Ia bilang, kehidupannya tidak seperti yang dibayangkannya sebelumnya. Suaminya tidaklah sesukses yang diceritakannya. Iming-iming suaminya untuk memodali usaha warung ibunya juga hanyalah janji manis. Ia juga tak diperbolehkan bekerja. Ia tidak boleh ke mana-mana, hanya boleh di rumah. Yang lebih parahnya, suaminya selalu berlaku kasar kepadanya, suka berjudi, mabuk-mabukan, dan juga mengonsumsi narkoba. Hal itu berlanjut sampai mereka dikaruniai seorang anak. Pernah ia kabur dari suaminya, tapi ia memilih kembali karena tak tahan berjauhan dari putri semata wayangnya. Akhirnya ia memilih bertahan, meski hatinya tak kuasa menahan penderitaan itu.
*****
Kadang jika suaminya sedang tidak di rumah, ia akan meneleponku. Tak pernah sekalipun kudengar tangisan tatkala ia bercerita. Mendengarnya berkisah seolah mendengarnya sedang menceritakan salah satu sinetron favoritnya. Seolah tanpa beban. Dan aku menjadi serba salah karena tidak tahu bagaimana membantunya keluar dari situasi itu. Aku menyuruhnya minta cerai. Suaminya mau melepasnya, tapi tidak mengizinkannya membawa anaknya. Anak adalah titik lemahnya. Ia rela menanggung apa saja asal tidak dipisahkan dari anaknya. Ah, Dita. Maafkan aku yang tidak bisa membantumu. Semoga Tuhan memberikan jalan keluar untuk masalahmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H