Mohon tunggu...
Indah Sari
Indah Sari Mohon Tunggu... -

Penari yang suka curhat dan curcol...= P

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

D I T A

31 Mei 2012   01:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:34 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: google.com "Hidupmu enak, ya. Ga kayak aku; susah." kata seorang teman lama.

Kalimat itu selalu diucapkannya di akhir sesi obrolan via telepon kami. Hatiku terenyuh tiap kali mendengarnya. Lebih terenyuh lagi mendengar kisah hidupnya. Tiga tahun lamanya kami tidak bertemu. Ternyata, tiga tahun telah banyak penderitaan yang dialaminya. Dan aku sebagai temannya tidak mampu berbuat apa-apa. Aku merasa tidak berguna. Yang dapat kulakukan adalah mendengarkan ceritanya, cerita yang hampir selalu sama, yang membedakannya hanyalah tanggal kejadiannya. Aku tak dapat menerimanya. Aku seperti mendengar kisah sinetron. Namun kali ini yang menjadi pemeran utama adalah temanku sendiri.

****

Sebut saja namanya Dita. Aku mengenalnya di kampus. Kami sekelas di kelas bahasa, kami juga bergabung di ukm kesenian fakultas sebagai penari, dan kami juga sering jadi panitia berbagai kegiatan di kampus. Lama-lama kami menjadi akrab. Bahkan kami juga sempat jualan bareng; untuk seneng-seneng aja, sih.

Dita termasuk salah satu gadis tercantik di angkatanku. Selain itu, ia pintar, ramah, baik hati, dan taat beribadah. Seingatku, dari dulu ia telah tegar menghadapi hidup sehingga membuatku semakin salut padanya. Ia berasal dari keluarga broken home; kedua orang tuanya bercerai sejak ia masih balita. Sejak kecil, nenek dan pamannya yang mengasuhnya. Keluarganya juga bukan keluarga berada, tetapi sepertinya ia juga tidak terlalu kekurangan karena kulihat ia masih mampu membeli bedak pixy, tas bagus, dan pernak-pernik cewek lain.

Sayangnya, pamannya over protective terhadapnya. Pergaulannya dibatasi. Ia tidak boleh bergaul dengan laki-laki. Tentunya, itu adalah hal yang mustahil karena kampus kami bukan kampus khusus putri. Setiap siang, ia akan memata-matai kegiatan Dita di kampus. Bahkan, ia sempat mendampratku hanya karena menurutnya aku akan membawa pengaruh buruk pada ponakannya. Lagi-lagi aku salut pada Dita, alih-alih mengeluh atau kabur dari rumah, ia tetap beraktivitas seperti biasa. Kalau aku yang berada di posisinya, mungkin aku akan memberontak dan kabur. Aku tak tahu persis apa yang membuatnya tetap bertahan.

******

Lepas dari bangku kuliah, kami tetap berkomunikasi. Kami masih saling bercerita. Ia banyak cerita tentang kerjaannya (waktu itu ia mengajar di sebuah playgroup) dan juga kisah percintaannya. Waktu terus berjalan dan aku selalu menjadi pendengar setia dan penyemangatnya.

Malapetaka itu berawal ketika ia dipecat dari pekerjaannya. Ia merasa galau karena masih harus melunasi kredit motor. Tidak hanya itu, ia juga baru saja putus dari pacarnya. Ia menggalau karena berpikir dirinya sudah tua dan berpikir kapan ia akan menikah. Saat itu aku juga belum punya kerjaan tetap dan juga jomblo. Aku berulangkali meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Aku bilang padanya agar tidak usah kuatir akan rejeki, selagi kita mau berusaha pasti bisa. Bahkan aku berniat memberikan anak didikku untuknya. Mengenai menikah, kukatakan kepadanya bahwa ia masih sangat muda baru 25 tahun, ia cantik, dan sebaiknya menunggu sampai menemukan orang yang benar-benar tepat untuknya.

Sumber gambar: google.com Suatu hari, ia dikenalkan dengan seorang pria yang mengaku sukses di rantau. Ketika ia menceritakan pria itu, bahkan membawanya menemuiku, firasatku tidak enak. Aku menyarankannya untuk tidak percaya 100 persen kepada pria itu. Apalagi mendengar iming-iming pria itu, padahal mereka baru kenalan seminggu. Sayangnya, Dita mengambil keputusan yang gegabah, ia memutuskan menikahi pria itu, bukan dengan cara yang normal, tepatnya mereka memilih kawin lari dan pergi jauh dari kota kami. Aku tahu kabar itu dari pamannya yang berusaha mencarinya ke mana-mana. Aku syok. Aku tak percaya. Seorang anak semanis, sealim, dan sepintar Dita?? Bagaimana mungkin ia melakukan itu?

Beberapa bulan setelah kejadian itu sampai sekarang, ia menyesali keputusannya. Ia bilang, kehidupannya tidak seperti yang dibayangkannya sebelumnya. Suaminya tidaklah sesukses yang diceritakannya. Iming-iming suaminya untuk memodali usaha warung ibunya juga hanyalah janji manis. Ia juga tak diperbolehkan bekerja. Ia tidak boleh ke mana-mana, hanya boleh di rumah. Yang lebih parahnya, suaminya selalu berlaku kasar kepadanya, suka berjudi, mabuk-mabukan, dan juga mengonsumsi narkoba. Hal itu berlanjut sampai mereka dikaruniai seorang anak. Pernah ia kabur dari suaminya, tapi ia memilih kembali karena tak tahan berjauhan dari putri semata wayangnya. Akhirnya ia memilih bertahan, meski hatinya tak kuasa menahan penderitaan itu.

*****

Kadang jika suaminya sedang tidak di rumah, ia akan meneleponku. Tak pernah sekalipun kudengar tangisan tatkala ia bercerita. Mendengarnya berkisah seolah mendengarnya sedang menceritakan salah satu sinetron favoritnya. Seolah tanpa beban. Dan aku menjadi serba salah karena tidak tahu bagaimana membantunya keluar dari situasi itu. Aku menyuruhnya minta cerai. Suaminya mau melepasnya, tapi tidak mengizinkannya membawa anaknya. Anak adalah titik lemahnya. Ia rela menanggung apa saja asal tidak dipisahkan dari anaknya. Ah, Dita. Maafkan aku yang tidak bisa membantumu. Semoga Tuhan memberikan jalan keluar untuk masalahmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun