"Esok aku akan pergi." ucap Rein dengan lirih.
"Oh ya, jam berapa penerbangan? "jawab Nuke dengan sikap acuh
"Sore.. dan jika kamu tidak bisa mengantar aku, it's ok." lanjut Rein.
"Baiklah.. semoga sampai dengan selamat di Amsterdam." ujar Nuke dengan suara datar.
"Aku akan pergi setahun lamanya, tidak kah kamu akan merindukan aku?" tanya Rein dengan tatapan yang menyimpan resah.
"Kirimi aku postcard ya.." ujar Nuke tertawa kecil setengah meledek.
Lalu perlahan Rein melepas genggaman tangannya. Rein terlihat begitu kecewa dengan reaksi Nuke yang begitu dingin, tak serius seolah tak memahami bahwa malam ini adalah malam terakhir mereka sebelum esok ia akan pergi dalam jangka waktu yang lama. Rein mengutuk dalam hati, ia pergi bukan seminggu atau sebulan, tapi setahun, namun reaksi Nuke selalu sama seperti reaksi sebelum sebelumnya, tak berperasaan.
Genap satu tahun ia menjalin hubungan dengan Nuke. Dan selama setahun itu Rein sudah berusaha dengan segala cara untuk membuat Nuke mencintainya dengan sama. Meski ia sudah memberinya perhatian penuh di pagi siang malam melalui telpon dan menghujaninya hadiah hadiah disertai makan malam romantis setiap kali Rein mengajaknya merayakan tanggal pertemuan mereka setiap bulan, namun hati Nuke seperti dinding dinding kokoh yang tak pernah bisa ia tembus terlebih di hancurkan dan mendung di matanya pun seolah tak pernah hilang.
Selama setahun itu Rein merasa hanya berjuang sendirian untuk menghidupkan hubungan mereka. Nuke tak pernah memperlihatkan antusias di setiap kebersamaan mereka hingga ia memberitahu perihal rencana kepergiannya jauh hari pun, Nuke seperti tak menganggap hal tersebut sesuatu yang akan mempertaruhkan hubungan mereka ke depan. Tak ada tangisan kehilangan, kerinduan atau ketakutan tentang waktu dan jarak yang akan memisahkan mereka itu.
"Kamu jaga diri baik baik ya.. tunggu aku kembali" ujar Rein sebelum Nuke beranjak dari duduknya.
"Iyah.. kamu juga jaga diri.." balas Nuke dengan senyum yang terlihat di paksakan.
Lalu dengan cepat Nuke membuka pintu mobil dan berjalan menuju pagar rumahnya. Dan Rein pun hanya diam termangu menatap Nuke yang berjalan tanpa menoleh lagi.
Rein pun melajukan mobilnya perlahan di tengah keheningan malam. Ada air mata mendesak di pelupuk matanya, namun segera ia putar lagu R&B untuk sedikit meredam sesaknya. Ia harus pulang untuk melanjutkan menata kopernya dengan perlengkapan yang akan ia bawa esok.
Sore itu, Nuke berjalan gontai meninggalkan ruang kecil Yayasan Pelita Kasih. Pemilik yayasan yang sudah beberapa kali ia temui tak juga memberikan informasi apapun tentang keberadaan bayi yang di serahkan ke yayasan itu dua tahun lalu.Â
Sementara Nuke sudah menjelaskan bahwa ia tak bermaksud mengambil kembali bayi yang sudah di adopsi oleh sebuah keluarga atas perjanjian yang orang tuanya tanda tangani. Ia hanya ingin mengetahui alamat orang tua angkat anaknya agar ia bisa datang untuk melihat anak yang ia rindukan selama dua tahun ini. Ia hanya menghiba untuk di berikan satu kali kesempatan, namun lagi lagi usahanya tidak membuahkan hasil.
Nuke melirik jam tangannya. Masih tiga jam lagi penerbangan Rein ke Amsterdam. Hatinya gundah antara ingin pergi menyusul Rein ke bandara atau pulang ke rumah, tidur dengan harapannya yang kembali padam. Nuke yang masih melamun di pinggiran jalan kemudian menghentikan taxi yang lewat di hadapannya. Ia meminta supir taxi mengantarnya ke bandara dengan segera.
Sepanjang perjalanan ia hanya terus melamun dan berpikir apa yang harus ia katakan kepada Rein tentang mendung yang selama ini menyelimuti mata dan hatinya, yang membuatnya bagai wanita tak berperasaan. Ia bukan tidak tahu dengan kekecewaan Rein padanya dan juga bukan karena ia tidak memiliki rasa yang sama dengan Rein. Hanya saja, ia tak siap Rein tahu tentang masa lalu yang selama ini ia simpan rapat sebelum Rein hadir dalam hidupnya.
Taxi tiba di terminal tiga, dan Nuke segera berjalan menuju ruang keberangkatan. Tanpa sulit mencari, dari kejauhan ia melihat ayah dan ibu Rein duduk membelakangi ruang tunggu berkaca. Sementara Rein duduk di sebelah mereka dengan mata mengarah pada laptopnya. Nuke setengah bersembuyi di balik dinding, berharap Rein tidak menoleh ke belakang dan melihatnya. Lalu Nuke duduk di salah satu meja resto di depannya. Ia pun mengambil bolpen dan kertas dari dalam tas nya. Dan jemarinya mulai menulis sepucuk surat untuk Rein;
Rein,Â
Hujan tidak pernah jatuh di tempat yang salah
Ia akan terus membasahi padang hati yang kering
Namun sebelum tetesannya bermuara pada oase yang hilang
Hati akan terus mengembara tanpa arah dan tak sanggup menepi
Pun, pada satu tahun yang memberinya banyak arti
Rein,Â
Aku menyayangimu
Meski tidak seperti langit mencintai hujan
Tidak seperti angin mencumbu awan
Namun aku pasti akan cemburu rein,Â
Pada embun yang membasahi kaca jendela kamarmuÂ
Pada mentari yang mengintip di celah tirai mu
Mereka bisa menyentuhmu setiap pagi
Sementara aku,Â
Hanya mampu berbisik rindu pada dinding jarak dan waktuÂ
Rein,Â
Suatu hari aku akan bercerita
Tentang lilin di kegelapan
Tentang gulita di rongga jiwa
Tentang lelah raga di bait doa
Dan percayalah Rein,Â
Pada saatnya nanti,
Aku dan semesta akan menyambutmu pulangÂ
Dengan gemintang berkelip tajam
Dan cinta yang mendekapmu eratÂ
Tanpa ragu dan mendung yang menggelayutiÂ
-Nuke -Â
Lalu Nuke memanggil seorang pelayan di resto untuk meminta tolong memberikan surat itu pada Rein di balik ruang berkaca sambil menyelipkan selembar uang kepada pelayan tersebut. Nuke sudah berpesan agar pelayan itu tidak memberitahukan keberadaanya di meja itu.Â
Nuke bisa melihat dari kejauhan Rein dan orang tuanya tengah berpelukan haru setelah panggilan suara di speaker meminta para penumpang segera masuk ke dalam boarding room. Lalu Nuke pun melangkah berjalan menuju pintu lobby keluar untuk mencari taxi yang mengantarnya pulang tanpa menunggu reaksi Rein setelah menerima suratnya itu.
Sementara Rein yang tengah berdiri di pintu menuju boarding room menerima surat itu dengan rasa heran. Begitu ia membacanya, dengan cepat ia melangkah setengah berlari mencari keberadaan Nuke di luar ruangan berkaca. Lalu dari pintu masuk terlihat seorang wanita muda lari tergopoh gopoh menghampiri Rein yang tengah berdiri mengarahkan pandangannya ke pintu keluar.
"Maaf mas aku terlambat, tadi macet sekali di jalan..bapak ibu di mana.. kamu segera berangkat kan? ini kue kering kesukaan kamu untuk bekal sebulan selama di Amsterdam, aku yang membuatnya sendiri.." ujar wanita itu sambil menyerahkan tas kue yang di tentengnya. Dan Rein pun menerima dengan tatapan kosong.
"Terima kasih Mira.. iya aku segera berangkat..bapak ibu masih di ruang tunggu," lalu Rein pun menggandeng tangan Mira, anak kolega ayahnya yang tiga bulan lalu dijodohkan dengannya.