Mohon tunggu...
Inayah Masfiy
Inayah Masfiy Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa STAI AL ANWAR

mari selalu tebarkan kebaikan..

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelanggaran HAM dalam Konflik Tanah: Kasus Penyerobotan Tanah Mbah Siyem di Grobogan

22 Juni 2024   13:48 Diperbarui: 22 Juni 2024   13:48 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perjuangan dalam rangka mengamankan hak atas tanah, kini menjadi isu kewarganegaraan yang eksis diperdebatkan di negara-negara berkembang. Perubahan dalam penggunaan lahan besar dalam dekade ini memantik konflik yang tersebar luas  tentang pengendalian akses terhadap tanah (overbeek, Kroger, dan Gerber,2012) persoalan pengambilalihan kepemilikan tanah tidak hanya skala besar saja yang eksis, namun, tersorot konflik tanah yang dialami masyarakat kecil di negara kita yang kemungkinan tidak hanya dirasakan oleh satu, dua warga saja, yang rata-rata berstatus sosial  menengah ke bawah. 

Pada awal bulan Juni lalu, ramai berita tentang kasus penyerobotan tanah milik salah satu warga Desa Karangasem, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Kasus penyerobotan tanah yang dialami mbah Siyem dan keluarganya, merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terbilang cukup serius. Hak dasar yang dilindungi oleh konstitusi dan hukum salah satunya adalah hak atas kepemilikan tanah. Ketika hak tersebut dirampas tanpa dasar yang sah, maka yang terjadi adalah pelanggaran HAM yang merugikan individu atau kelompok masyarakat yang terdampak.

Adapun kronologi kasus mbah Siyem dikutip dari (Tribungorontalo.com) berawal saat mbah Siyem dan saudara-saudaranya mengetahui bahwa tanah warisan mereka dari almarhum bapaknya seluas 1,7 hektar telah beralih kepemilikan ke pemerintah desa setempat. Tidak hanya itu, bahkan tanah tersebut juga dibangun sebuah sekolah dasar dan kolam renang. Mereka dikejutkan dengan hal tersebut setelah mereka kembali dari perantauannya selama dua tahun. Padahal sang pemilik tanah dulu yaitu bapaknya mbah siyem (Kasman) tidak pernah menjual tanah tersebut. Lebihnya lagi Pemdes Karangasem mengklaim tanah tersebut telah dibeli pada pada tahun 1970, padahal si pemilik tanah awal (Kasman) telah meninggal pada 1965. Akibatnya persengketaan tanah ini terjadi akibat proses peralihan kepemilikan yang diduga dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, bahkan merugikan sang pemilik tanah(Mbah Siyem) sebagai ahli waris yang sah.

Memaknai hak asasi manusia menurut perspektif Jhon Locke yaitu hak yang dimiliki oleh setiap individu secara alami dan tak dapat dicabut oleh pihak mana pun. Hak-hak tersebut meliputi hak atas kehidupan, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan hak atas properti pribadi. Jhon Locke juga menyatakan bahwa pemerintah harus menghormati dan melindungi hak-hak ini, jika tidak maka rakyat memiliki hak untuk memberontak.

Mengenai hak atas properti atau hak kepemilikan tanah juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam pasal 17 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memiliki harta secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain dan tidak seorang pun boleh dirampas hartanya dengan sewenang-wenang. Perihal ini juga tercantum dalam konstitusi Indonesia, khususnya pada pasal 28 H ayat(4) UUD 1945 yang menjamin hak atas harta benda.

Dalam konteks penyerobotan tanah, teori terkait pelanggaran hak asasi manusia di antaranya yaitu penyerobotan tanah tanpa dasar hukum yang sah adalah pelanggaran secara langsung terhadap hak milik. Dalam kasus ini, pemerintah desa Karangasem mengklaim telah membeli tanah pada 1970, akan tetapi tidak adanya bukti pembelian yang sah, bahkan sertifikasi tanah melalui program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) pada tahun 2022 juga diduga dilakukan tanpa prosedur yang benar.

Selanjutnya terkait penyalahgunaan kewenangan. yaitu ketika kedudukan disalah gunakan hingga menyebabkan kerugian bagi warganya, seperti  pengambilalihan tanah oleh pihak berwenang yang tidak didasari oleh dasar hukum yang jelas. Pemdes tersebut menggunakan posisinya untuk merampas tanah yang seharusnya milik warga.

Tidak hanya itu, kurangnya akuntabilitas dan transparansi juga menjadi penyebab terjadinya kasus tersebut. Proses peralihan kepemilikan tanah yang dilakukan tanpa adanya transparan dan tidak akuntabel mengindikasikan pelanggaran prinsip-prinsip good governmance. Akibatnya muncul kecurigaan adanya praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang  yang disebabkan oleh ketidakjelasan tentang bagaimana tanah itu bisa beralih kepemilikan.

Kasus ini menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap warga yang tidak mampu. Melihat kondisi keluarga mbah siyem yang notabenya kurang mampu, tidak memiliki kemampuan untuk melawan secara efektif untuk mengambil kembali tanah mereka oleh pihak yang lebih kuat secara ekonomi dan politik.

Konsep keadilan menurut Jhon Rawls dalam bukunya yang berjudul A Theory of Justice ia memakai konsep keadilan sebagai fairness. Ia juga menerangkan bahwa hukum yang tidak adil harus direformasi atau teori keadilan dan hukum harus sejalan. Masyarakat yang jika ia  tidak hanya meningkatkan kesejahteraannya saja, namun juga diatur oleh  konsepsi publik mengenai keadilan secara efektif, maka akan menciptakan masyarakat yang tertata dengan baik.

Di antara konsepsi publik mengenali keadilan yakni, yang pertama setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama. Pada Konsep pertama ini sepertinya banyak yang sudah memahami tentang persamaan prinsip yang dianut masyarakat, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pandangan tenang memaknai keadilan. Karena masih banyak masyarakat yang terperangkap dalam selubung ketidaktahuan (veil of ignorance).

 Yang kedua institusi sosial dasar pada umumnya harus sejalan dengan prinsip tersebut. Dalam hal ini institusi dianggap adil jika tidak membedakan sewenang-wenang antar orang dalam memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan menentukan keseimbangan yang seimbang antara klaim-klaim yang saling berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial.

Yang ketiga adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan pada pembagian keuntungan dalam kehidupan sosial yang melibatkan persoalan tentang efisiensi, koordinasi dan stabilitas. Tentunya dalam hal ini pemerataan sosial sangat dipandang tajam, terlebih oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah terkait ketepatan penyebaran dan kedayagunaan sosial dengan baik, juga penanganan dalam mengatur pembagian keuntungan dengan baik, agar tidak terjadi pertentangan dan simpang siur, hingga menciptakan keadilan yang dinamis.

Menciptakan keadilan tidak serta merta tugas pemerintah dan aparatnya saja, tetapi tugas segenap masyarakat yang ada, agar tidak terjadi ketimpangan perihal sesuatu yang menuntutnya. Pada dasarnya secara fitrah setiap manusia mendambakan perlakuan adil, namun kebijakan terkadang belum mampu menjangkau dan merealisasikan hakikat keadilan sebagai fairness tersebut.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun