Sosok itu mendekat perlahan, dan Arman merasakan gelombang kesedihan yang mendalam. "Aku ingin pulang," suara Bimo terdengar, penuh dengan kepedihan. "Ayahku mengambil segalanya dariku."
Arman berusaha menenangkan Bimo. "Aku di sini untuk membantumu," katanya. "Bagaimana aku bisa membantu?"
Bimo menatap Arman dengan mata penuh harap. "Hentikan ayahku. Dia masih hidup, dan dia akan kembali untuk ritual berikutnya. Jika dia berhasil, banyak nyawa lain yang akan menjadi korban."
Arman mengangguk, merasa ada beban besar di pundaknya. "Aku akan menghentikannya," janji Arman. "Tapi aku perlu tahu di mana dia sekarang."
Bimo mengarahkan pandangannya ke sebuah gua di dekat situ. "Dia bersembunyi di sana, menunggu saat yang tepat untuk kembali."
Dengan tekad yang bulat, Arman berjalan menuju gua yang ditunjukkan Bimo. Gua itu gelap dan lembab, dengan bau anyir yang menyengat. Di dalamnya, Arman melihat jejak-jejak aktivitas manusia. Bekas-bekas lilin dan simbol-simbol aneh tergambar di dinding gua.
Di sudut gua, Arman menemukan Pak Joko. Wajahnya terlihat jauh lebih tua dan rusak oleh waktu dan dosa. Mata Pak Joko memancarkan kegilaan yang mendalam. "Kau tidak bisa menghentikanku," geramnya. "Ritual ini harus dilanjutkan demi kekayaan yang kuinginkan."
Arman tidak gentar. "Kau sudah mengorbankan anakmu sendiri. Berapa banyak lagi yang harus kau korbankan?"
Pak Joko tertawa gila. "Kekayaan membutuhkan pengorbanan. Bimo hanyalah awal. Dengan setiap korban, aku akan semakin kuat."
Arman merasakan amarah dan kesedihan yang mendalam. "Tidak, aku tidak akan membiarkanmu melanjutkan ini." Dengan cepat, Arman melemparkan garam suci yang dibawanya ke arah Pak Joko. Jeritan mengerikan terdengar saat garam itu mengenai kulitnya, membuatnya terbakar dan melepuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H