Hidupku dulu penuh dengan kegelapan. Aku adalah seorang pemalas yang hanya tahu bersenang-senang. Mabuk dan berjudi menjadi rutinitas harian, tanpa peduli apa pun dan siapa pun. Setiap pagi bangun dengan kepala berat, kembali mengulang siklus yang sama. Aku memeras orang tuaku tanpa henti, mengambil semua yang mereka miliki. Ketika uang dari mereka habis, aku mencuri dari tetangga, menjambret di jalanan, apa saja demi bisa terus berjudi.
Suatu hari, aku terlibat dalam sebuah perkelahian dengan bandar judi. Dia menuduhku mencurangi permainan. Tuduhan itu membuat darahku mendidih. Tanpa berpikir panjang, aku mencabut pisau yang selalu kusimpan di saku, dan dalam hitungan detik, hidupnya berakhir di ujung pisauku. Aku dibawa ke penjara, dihukum sepuluh tahun. Saat itu, aku merasa hidupku benar-benar berakhir.
Hari-hari pertama di penjara adalah neraka. Penyesalan memang datang, tetapi terlambat. Setiap malam aku teringat akan wajah orang tuaku, terutama ibu yang selalu menangis saat aku memaksa mereka memberi uang. Ayahku, yang sudah tua dan lemah, hanya bisa menghela napas panjang setiap kali aku datang ke rumah mereka dalam keadaan mabuk.
Seminggu setelah aku dipenjara, orang tuaku datang menjenguk. Mereka tidak marah, tidak menghakimi, hanya datang dengan wajah penuh kesedihan. Ayah menggenggam tanganku erat, dan ibu memelukku sambil menangis. "Nak, kami di sini untukmu. Kami tidak akan meninggalkanmu," kata ayah dengan suara bergetar.
Setiap minggu, mereka datang mengunjungiku. Mereka membawa makanan, buku, dan sesekali surat dari saudara-saudaraku yang jauh. Aku selalu menanti-nanti kunjungan mereka, meski kadang malu bertemu dengan mereka. Kesabaran dan kasih sayang mereka seperti sinar dalam kegelapan penjara.
Di balik jeruji besi, aku mulai merenung. Aku melihat kembali hidupku yang kelam, semua kesalahan dan dosa yang kulakukan. Kesabaran dan kasih sayang orang tuaku membukakan mata hatiku. Aku mulai berdoa, meminta ampunan kepada Tuhan atas segala perbuatanku. Setiap malam sebelum tidur, aku memohon agar diberi kekuatan untuk berubah, untuk menjadi anak yang bisa membuat orang tuaku bangga.
Waktu berlalu, dan aku berusaha mengubah diriku. Aku mengikuti program rehabilitasi di penjara, belajar keterampilan baru, dan rajin membaca buku-buku tentang kehidupan dan agama. Setiap kali orang tuaku datang, mereka melihat perubahan dalam diriku. Ibu selalu tersenyum bahagia, dan ayah memelukku dengan bangga.
Akhirnya, setelah sepuluh tahun, aku bebas. Aku keluar dari penjara dengan perasaan campur aduk. Dunia luar terasa asing, tetapi orang tuaku ada di sana, menungguku dengan senyuman. Mereka membawaku pulang, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa benar-benar dicintai dan diterima.
Di rumah, aku bertekad untuk memulai hidup baru. Aku bekerja keras, mengambil pekerjaan apa saja yang bisa kulakukan. Orang tuaku selalu mendukungku, memberikan semangat setiap kali aku merasa putus asa. Dengan bantuan mereka, aku berhasil bangkit. Aku meninggalkan semua kebiasaan buruk, berhenti berjudi, dan minum alkohol. Aku belajar hidup sederhana, bersyukur atas setiap hal kecil yang kumiliki.
Tahun demi tahun berlalu, aku berhasil membangun usaha kecil-kecilan. Hidupku mulai stabil, dan aku bisa membahagiakan orang tuaku dengan hasil jerih payahku sendiri. Mereka selalu ada di sampingku, mendukung setiap langkahku.
Suatu hari, aku duduk bersama ayah di teras rumah. Kami berbicara tentang masa lalu, tentang semua kesulitan yang pernah kami hadapi. Ayah memegang tanganku dan berkata, "Nak, kami selalu percaya bahwa kamu bisa berubah. Kami tidak pernah meragukanmu. Kasih sayang dan doa kami selalu menyertaimu."
Kata-kata ayah membuat hatiku hangat. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca, merasa sangat beruntung memiliki orang tua seperti mereka. "Terima kasih, Ayah, Ibu. Terima kasih karena tidak pernah menyerah padaku," kataku dengan suara bergetar.
Kehidupan terus berjalan, tetapi cinta dan kesabaran orang tuaku tetap menjadi kekuatan terbesar dalam hidupku. Mereka mengajarkanku bahwa tidak ada kata terlambat untuk berubah. Bahwa kasih sayang dan kesabaran bisa mengalahkan segala kegelapan.
Kini, aku hidup dengan penuh rasa syukur. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk menjadi lebih baik, untuk membalas semua kebaikan yang telah diberikan oleh orang tuaku. Aku belajar untuk mencintai diriku sendiri, untuk menghargai setiap orang di sekitarku.
Setiap kali aku melihat senyum di wajah orang tuaku, aku tahu bahwa semua perjuangan dan penyesalan itu tidak sia-sia. Mereka adalah pahlawan dalam hidupku, yang dengan kesabaran dan kasih sayangnya telah menyelamatkanku dari kegelapan.
Begitu banyak hal yang bisa kupelajari dari mereka. Kasih sayang dan kesabaran yang tulus bisa mengubah dunia. Dan aku berjanji, akan terus hidup dalam jalan yang benar, agar kelak bisa menjadi pahlawan bagi orang lain, seperti mereka telah menjadi pahlawan bagiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H