Mohon tunggu...
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis yang berfikir Obyektif dan realitis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Balik Kebencian

20 Juli 2024   09:28 Diperbarui: 20 Juli 2024   09:30 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semuanya dimulai pada hari pertama sekolah menengah pertama. Aku, Rian, adalah anak yang cerdas dan populer. Segala sesuatu berjalan mulus hingga dia datang---Anisa, tetangga baru yang juga teman sekelasku. Anisa adalah gadis yang pendiam, pemalu, dan kerap kali mengenakan kacamata tebal yang membuatnya terlihat culun. Entah kenapa, sejak pertama kali bertemu, aku merasa tidak suka padanya. Ada sesuatu tentang Anisa yang membuat darahku mendidih.

Di sekolah, Anisa selalu menonjol dalam hal akademik. Dia kerap kali menjadi sorotan guru karena prestasinya, dan itu membuatku merasa tersaingi. Sementara di rumah, Anisa sering kali terlihat membantu ibunya berkebun atau merawat adik-adiknya dengan penuh kasih sayang. Ini semakin membuatku muak, melihat betapa sempurnanya hidupnya tampak dari luar.

Kebencianku pada Anisa semakin memuncak seiring berjalannya waktu. Aku mulai melakukan hal-hal kecil untuk mencelakakannya. Misalnya, aku sering menjebaknya dengan menyebarkan gosip buruk tentangnya atau bahkan mencuri buku catatannya sebelum ujian. Pernah suatu kali, aku memasukkan pecahan kaca ke dalam sepatunya. Namun, yang terjadi justru di luar dugaanku. Bukannya mengadu atau marah, Anisa hanya diam dan mengganti sepatunya dengan yang baru. Bahkan, dia tetap tersenyum padaku seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Waktu berlalu, dan kebencianku semakin dalam. Aku tidak mengerti mengapa Anisa tidak pernah membalas dendam atau bahkan mengadukan perbuatanku pada guru. Ada saat-saat di mana aku merasa bersalah, namun segera kuabaikan perasaan itu.

Memasuki masa remaja, kebencianku bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih gelap. Satu malam, setelah sebuah pesta sekolah, aku memutuskan untuk menakut-nakuti Anisa. Aku tahu dia sering pulang larut malam karena kegiatan ekstrakurikuler. Malam itu, aku bersembunyi di balik semak-semak dekat rumahnya, menunggu dia pulang.

Ketika Anisa melintas, aku melompat keluar dan mengayunkan pisau mainan yang tampak sangat nyata. Anisa terkejut dan jatuh terduduk. Aku tertawa terbahak-bahak melihatnya ketakutan. Namun, tawa itu segera mereda ketika aku melihat ada darah mengalir dari lututnya yang tergores karena terjatuh.

"Apa yang kamu lakukan, Rian?" Anisa bertanya dengan suara gemetar. Matanya yang biasanya tenang kini penuh dengan air mata. 

Entah kenapa, malam itu aku merasa ada yang berbeda. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya---penyesalan. Namun, alih-alih meminta maaf, aku hanya menatapnya dingin dan berjalan pergi meninggalkannya dalam kegelapan.

Waktu terus berjalan. Kini kami sudah dewasa dan berkuliah di universitas yang sama. Aku masih sering melihat Anisa di kampus, tetapi kini ada sesuatu yang berbeda tentangnya. Dia masih tetap pendiam, namun ada aura kekuatan yang terpancar dari dirinya. Dia terlihat lebih dewasa, lebih matang, dan lebih cantik dari sebelumnya.

Suatu hari, aku menerima telepon dari ibuku yang meminta bantuanku untuk mengantarkan makanan ke tetangga kami yang sakit. Tanpa kusadari, tetangga yang dimaksud adalah keluarga Anisa. Ayahnya sedang dirawat di rumah karena penyakit parah. Dengan enggan, aku pergi ke rumah Anisa untuk menyerahkan makanan itu.

Saat sampai di sana, Anisa menyambutku dengan senyuman yang sama seperti dulu. Namun kali ini, aku melihat ada kesedihan di balik senyumannya. Aku memberikan makanan itu dan mencoba pergi secepat mungkin, namun Anisa menahanku.

"Terima kasih, Rian. Ayahku sangat membutuhkan ini," katanya dengan suara lembut.

Aku hanya mengangguk dan pergi tanpa sepatah kata pun.

Beberapa bulan kemudian, ayah Anisa meninggal dunia. Aku melihat bagaimana Anisa menangis di pemakaman, namun dia tetap kuat. Setelah pemakaman, aku mulai sering melihat Anisa sendirian di taman dekat rumah kami, menatap langit dengan tatapan kosong. Entah kenapa, aku merasa ada dorongan untuk mendekatinya.

Suatu malam, ketika aku melihatnya di taman, aku memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya. Kami duduk dalam keheningan untuk waktu yang lama sebelum akhirnya aku berkata, "Maafkan aku, Anisa, atas semua yang telah kulakukan padamu."

Anisa menoleh padaku dengan mata berkaca-kaca. "Aku sudah memaafkanmu sejak lama, Rian. Aku tahu kamu hanya bingung dan marah."

Itu adalah saat di mana aku merasa hatiku hancur dan sembuh sekaligus. Kesabaran dan kasih sayang Anisa yang tulus membuatku menyadari betapa jahatnya aku selama ini. Aku merasa malu dan terpuruk, namun Anisa mengangkatku dengan senyumannya.

Setelah malam itu, aku dan Anisa mulai lebih sering berbicara. Perlahan-lahan, perasaanku padanya berubah. Dari kebencian menjadi penyesalan, dan dari penyesalan menjadi rasa kagum. Aku melihat betapa kuat dan penyayangnya Anisa, dan itu membuatku jatuh cinta padanya.

Aku mulai melakukan hal-hal kecil untuk membantunya, seperti menemaninya belajar atau sekedar mendengarkan keluh kesahnya. Anisa selalu menyambut bantuanku dengan senyum hangat dan rasa terima kasih yang tulus. Rasa cintaku padanya semakin dalam, dan aku tahu aku telah jatuh cinta setengah mati pada gadis yang dulu kubenci.

Namun, kebahagiaan kami tidak berlangsung lama. Satu malam, ketika aku dan Anisa sedang berjalan-jalan di taman, kami mendengar suara aneh dari semak-semak. Tiba-tiba, bayangan gelap muncul di depan kami, mengancam dengan pisau di tangan. Aku berdiri di depan Anisa, berusaha melindunginya.

Bayangan itu ternyata adalah mantan teman sekelasku, Roy, yang dulu sering kubawa serta dalam rencana-rencana jahatku. Roy tampak marah dan penuh kebencian. "Kamu pikir bisa meninggalkan masa lalu begitu saja, Rian?" katanya dengan suara serak.

Aku mencoba berbicara dengannya, tetapi Roy sudah hilang kendali. Dia menyerang dengan pisau, dan dalam upaya melindungi Anisa, aku terluka parah. Darah mengalir deras dari lukaku, dan aku merasakan dunia menjadi gelap.

Aku terbangun di rumah sakit dengan Anisa di sampingku. Wajahnya penuh dengan kekhawatiran dan air mata. "Kamu aman sekarang, Rian. Terima kasih sudah melindungiku," bisiknya.

Meski terluka, aku merasa damai. Aku tahu Anisa adalah segalanya bagiku. Kasih sayang dan kesabarannya telah menyelamatkanku dari kegelapan, dan meski aku hampir kehilangan nyawa, aku tidak menyesal sedikit pun.

Hari-hari berlalu, dan aku sembuh dari luka fisikku. Namun, luka di hatiku telah sembuh lebih cepat, berkat kasih sayang Anisa. Kami akhirnya bersama, dan aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu mencintai dan melindunginya, seperti dia telah melindungi hatiku dengan kasih sayangnya.

Jakarta, Juli2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun