Saat sampai di sana, Anisa menyambutku dengan senyuman yang sama seperti dulu. Namun kali ini, aku melihat ada kesedihan di balik senyumannya. Aku memberikan makanan itu dan mencoba pergi secepat mungkin, namun Anisa menahanku.
"Terima kasih, Rian. Ayahku sangat membutuhkan ini," katanya dengan suara lembut.
Aku hanya mengangguk dan pergi tanpa sepatah kata pun.
Beberapa bulan kemudian, ayah Anisa meninggal dunia. Aku melihat bagaimana Anisa menangis di pemakaman, namun dia tetap kuat. Setelah pemakaman, aku mulai sering melihat Anisa sendirian di taman dekat rumah kami, menatap langit dengan tatapan kosong. Entah kenapa, aku merasa ada dorongan untuk mendekatinya.
Suatu malam, ketika aku melihatnya di taman, aku memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya. Kami duduk dalam keheningan untuk waktu yang lama sebelum akhirnya aku berkata, "Maafkan aku, Anisa, atas semua yang telah kulakukan padamu."
Anisa menoleh padaku dengan mata berkaca-kaca. "Aku sudah memaafkanmu sejak lama, Rian. Aku tahu kamu hanya bingung dan marah."
Itu adalah saat di mana aku merasa hatiku hancur dan sembuh sekaligus. Kesabaran dan kasih sayang Anisa yang tulus membuatku menyadari betapa jahatnya aku selama ini. Aku merasa malu dan terpuruk, namun Anisa mengangkatku dengan senyumannya.
Setelah malam itu, aku dan Anisa mulai lebih sering berbicara. Perlahan-lahan, perasaanku padanya berubah. Dari kebencian menjadi penyesalan, dan dari penyesalan menjadi rasa kagum. Aku melihat betapa kuat dan penyayangnya Anisa, dan itu membuatku jatuh cinta padanya.
Aku mulai melakukan hal-hal kecil untuk membantunya, seperti menemaninya belajar atau sekedar mendengarkan keluh kesahnya. Anisa selalu menyambut bantuanku dengan senyum hangat dan rasa terima kasih yang tulus. Rasa cintaku padanya semakin dalam, dan aku tahu aku telah jatuh cinta setengah mati pada gadis yang dulu kubenci.
Namun, kebahagiaan kami tidak berlangsung lama. Satu malam, ketika aku dan Anisa sedang berjalan-jalan di taman, kami mendengar suara aneh dari semak-semak. Tiba-tiba, bayangan gelap muncul di depan kami, mengancam dengan pisau di tangan. Aku berdiri di depan Anisa, berusaha melindunginya.
Bayangan itu ternyata adalah mantan teman sekelasku, Roy, yang dulu sering kubawa serta dalam rencana-rencana jahatku. Roy tampak marah dan penuh kebencian. "Kamu pikir bisa meninggalkan masa lalu begitu saja, Rian?" katanya dengan suara serak.