Semarang, kota yang menjadi saksi bisu janji kami. Waktu itu, kami duduk di tepi pantai Tanjung Mas. Â Angin laut yang sepoi-sepoi mengiringi janji kami untuk selalu bersama. Namaku Arya, dan dia, perempuan yang kupuja setengah mati, adalah Nisa.
"Aku akan selalu mencintaimu, Nis. Kita akan berumah tangga," ucapku dengan penuh keyakinan. Nisa tersenyum, lalu memelukku erat.
"Janji ya, Ar..? Kita akan menikah," balas Nisa.
Namun, hidup tidak selalu sesuai janji. Dua tahun kemudian, aku mendapat tawaran pekerjaan di Bandung. Kesempatan yang tak bisa kusia-siakan. Dengan berat hati, aku pamit kepada Nisa.
"Kita masih bisa menjaga janji kita, Ar... Kita bisa tetap bersama, walaupun jarak memisahkan," ucap Nisa dengan suara bergetar. Aku mengangguk dan menghapus air matanya.Â
Di Bandung, kehidupan berjalan cepat. Pekerjaan yang menuntut perhatian penuh membuatku sedikit demi sedikit mengabaikan janji yang pernah kubuat dengan Nisa. Hingga suatu hari, aku bertemu dengan Laila, rekan kerjaku. Perlahan, kedekatan kami berubah menjadi perasaan yang sulit dihindari.
Kami menikah. Aku merasa senang sekaligus bersalah. Senang karena Laila adalah sosok yang hangat dan penuh kasih, namun bersalah karena aku melanggar janji yang pernah kubuat dengan Nisa. Aku tahu Nisa pasti terluka, dan benar saja, saat dia mengetahui kabar pernikahanku, dia sangat marah.
"Ar.., kamu pembohong ! Aku tidak akan pernah menikah, tidak akan!" Teriak Nisa melalui telepon. Suaranya menggema di telingaku, membuatku merasa seperti orang paling jahat di dunia. Aku berusaha menjelaskan, namun dia tidak mau mendengar.
Tiga tahun berlalu. Hidupku di Bandung berjalan lancar, namun bayangan Nisa selalu menghantui pikiranku. Hingga suatu hari, aku memutuskan untuk kembali ke Semarang, menemui Nisa dan memohon pengertiannya.
"Nis.., aku datang untuk meminta maaf. Aku tahu aku salah, tapi aku harap kamu bisa mengerti. Kita harus melanjutkan hidup kita," kataku dengan nada penuh penyesalan. Nisa memandangku lama, ada air mata di sudut matanya, namun dia tidak berkata apa-apa.
Setelah pertemuan itu, kami tidak berkomunikasi lagi. Aku kembali ke Bandung dengan perasaan campur aduk. Tiga bulan kemudian, sebuah undangan pernikahan tiba di rumahku. Namaku tertera sebagai salah satu tamu undangan. Itu undangan dari Nisa.
Di hari pernikahan Nisa, aku datang dengan perasaan haru dan lega. Melihatnya mengenakan gaun pengantin putih, senyum di wajahnya, aku tahu dia telah menemukan kebahagiaannya.Â
"Nis.., aku sangat bahagia untukmu. Maafkan aku atas semua yang terjadi," ucapku saat bertemu dengannya.
Nisa tersenyum. "Ar.., aku sudah memaafkanmu sejak lama. Aku hanya butuh waktu untuk menyadari bahwa hidup harus terus berjalan. Terima kasih karena pernah menjadi bagian penting dalam hidupku."
Mendengar itu, hatiku terasa lebih ringan. Aku tahu, meski kami tidak lagi bersama, aku akan selalu mengingat janji kami di Semarang.Â
Hari itu, aku menyaksikan pernikahan Nisa dengan hati yang tenang. Mungkin cinta pertama kami tidak berakhir seperti dalam dongeng, namun aku percaya, setiap orang berhak mendapatkan kebahagiaannya. Begitu pula Nisa.
Namun, begitu pulang menuju ke Bandung hati merasa sakit, cemburu dan entah mengapa aku merasakan ini.
Hatiku tidak tenang selalu gelisah. "Inikah yang dirasakan Nisa saat kutinggalkan dan menikah dengan orang lain.
Yaa...Tuhan, betapa sakit dan tersiksanya hati ini. Aku harus bagaimana...., hingga sekarang rasa itu masih menyiksaku.
Maafkan..aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H