Setelah pertemuan itu, kami tidak berkomunikasi lagi. Aku kembali ke Bandung dengan perasaan campur aduk. Tiga bulan kemudian, sebuah undangan pernikahan tiba di rumahku. Namaku tertera sebagai salah satu tamu undangan. Itu undangan dari Nisa.
Di hari pernikahan Nisa, aku datang dengan perasaan haru dan lega. Melihatnya mengenakan gaun pengantin putih, senyum di wajahnya, aku tahu dia telah menemukan kebahagiaannya.Â
"Nis.., aku sangat bahagia untukmu. Maafkan aku atas semua yang terjadi," ucapku saat bertemu dengannya.
Nisa tersenyum. "Ar.., aku sudah memaafkanmu sejak lama. Aku hanya butuh waktu untuk menyadari bahwa hidup harus terus berjalan. Terima kasih karena pernah menjadi bagian penting dalam hidupku."
Mendengar itu, hatiku terasa lebih ringan. Aku tahu, meski kami tidak lagi bersama, aku akan selalu mengingat janji kami di Semarang.Â
Hari itu, aku menyaksikan pernikahan Nisa dengan hati yang tenang. Mungkin cinta pertama kami tidak berakhir seperti dalam dongeng, namun aku percaya, setiap orang berhak mendapatkan kebahagiaannya. Begitu pula Nisa.
Namun, begitu pulang menuju ke Bandung hati merasa sakit, cemburu dan entah mengapa aku merasakan ini.
Hatiku tidak tenang selalu gelisah. "Inikah yang dirasakan Nisa saat kutinggalkan dan menikah dengan orang lain.
Yaa...Tuhan, betapa sakit dan tersiksanya hati ini. Aku harus bagaimana...., hingga sekarang rasa itu masih menyiksaku.
Maafkan..aku.