Mohon tunggu...
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis yang berfikir Obyektif dan realitis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perasaan Bersalah

30 Juni 2024   11:29 Diperbarui: 30 Juni 2024   11:48 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fajar baru saja menyingsing di kota kecil tempat tinggalku. Cahaya matahari pagi menerobos melalui celah-celah jendela kamarku, menciptakan bayangan yang bergetar di dinding. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi foto di tangan. Foto itu adalah gambar keluarga kami, diambil beberapa tahun lalu sebelum semua berubah.

Nama saya Rian. Dahulu, saya adalah anak yang ceria dan penuh semangat. Namun, hidup saya berubah drastis ketika saya membuat kesalahan terbesar dalam hidup saya---kesalahan yang tidak hanya menghancurkan diriku sendiri, tetapi juga keluargaku.

Itu adalah malam yang dingin di bulan Desember ketika semuanya terjadi. Saya baru saja pulang dari pesta ulang tahun seorang teman. Malam itu, saya minum terlalu banyak dan nekat mengemudi dalam keadaan mabuk. Saya tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi, tetapi yang saya tahu, saya kehilangan kendali atas mobil dan menabrak sesuatu dengan keras.

Ketika saya sadar, saya sudah berada di rumah sakit dengan luka ringan. Namun, rasa sakit yang saya rasakan tidak sebanding dengan kabar yang saya terima kemudian. Dalam kecelakaan itu, saya menabrak seorang pejalan kaki, seorang pria tua yang tidak berdosa. Pria itu adalah Pak Harun, tetangga kami yang dikenal baik dan ramah. Sayangnya, nyawanya tidak tertolong.

Berita tentang kecelakaan itu tersebar cepat di kota kecil kami. Keluarga Pak Harun hancur, dan begitu pula dengan keluargaku. Ibuku menangis setiap malam, dan ayahku tidak pernah memandangku dengan cara yang sama lagi. Saya merasa seperti orang asing di rumahku sendiri.

Rasa bersalah yang menyelimuti diriku begitu kuat. Saya tidak bisa tidur atau makan dengan baik. Setiap kali saya menutup mata, saya bisa melihat wajah Pak Harun dan mendengar jeritan keluarganya. Saya mencoba mencari penghiburan dalam alkohol, berharap dapat melupakan sejenak rasa sakit itu, tetapi kenyataannya malah sebaliknya. Minuman keras hanya membuat semuanya semakin buruk.

Saya mulai menjauh dari teman-teman dan keluargaku. Saya berhenti bekerja dan mengurung diri di kamar, terperangkap dalam pusaran rasa bersalah dan penyesalan. Kehidupan saya yang dulu penuh warna kini berubah menjadi kelam dan hampa.

Suatu hari, ketika saya sedang berjalan tanpa tujuan di taman kota, saya melihat putri Pak Harun, Lisa. Lisa adalah gadis yang kuat, selalu ceria meski hidupnya tidak mudah. Namun, hari itu saya melihat air mata mengalir di pipinya. Rasa bersalahku semakin menguat.

Dengan berat hati, saya mendekatinya. "Lisa, aku... aku minta maaf," kataku dengan suara bergetar. "Aku tahu kata-kata ini tidak akan pernah cukup, tetapi aku benar-benar menyesal."

Lisa menatapku dengan mata merah dan bengkak. "Rian, tidak ada yang bisa mengembalikan ayahku. Apakah kamu tahu betapa sulitnya hidup kami sekarang? Ibu dan adikku sangat terpukul. Kami kehilangan pilar utama dalam keluarga kami."

Kata-kata Lisa menusuk hatiku seperti belati. Saya ingin melakukan sesuatu untuk menebus kesalahan itu, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. Saya menawarkan bantuan finansial, tetapi keluarga Pak Harun menolaknya. Mereka tidak ingin uang; mereka ingin keadilan, yang tidak bisa saya berikan.

Rasa bersalah yang tidak kunjung reda membuat saya semakin tenggelam dalam kegelapan. Saya berhenti peduli pada diriku sendiri. Saya tidak lagi memperhatikan penampilan atau kesehatan. Saya mulai mengonsumsi obat-obatan terlarang sebagai cara lain untuk melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan.

Keluargaku semakin khawatir dengan keadaanku. Ibu sering menangis dan memohon agar aku berhenti menyakiti diriku sendiri. "Rian, kamu tidak bisa terus seperti ini. Kami mencintaimu dan ingin kamu sembuh," katanya dengan suara yang penuh harap.

Tetapi saya tidak bisa menerima cinta atau bantuan mereka. Saya merasa tidak layak mendapatkannya. Setiap kali saya melihat ibu atau ayahku, saya hanya melihat rasa sakit yang telah saya sebabkan. Saya mendorong mereka menjauh, semakin mengisolasi diriku dalam kesepian dan keputusasaan.

Suatu malam, dalam keadaan setengah sadar akibat obat-obatan, saya berjalan tanpa tujuan ke jalan tempat kecelakaan itu terjadi. Di sana, di tempat yang menjadi saksi bisu kehancuran hidupku dan keluarga Pak Harun, saya jatuh berlutut dan menangis. Tangisan yang keluar adalah campuran dari penyesalan, rasa sakit, dan kerinduan untuk memperbaiki semuanya.

Saat itulah saya merasakan kehadiran seseorang di dekatku. Saya mendongak dan melihat seorang pria tua dengan janggut putih. Wajahnya mengingatkanku pada Pak Harun, tetapi ada kelembutan dan pengertian dalam tatapannya.

"Anak muda, hidup ini penuh dengan kesalahan dan penyesalan," katanya dengan suara yang lembut. "Tetapi menghancurkan dirimu sendiri tidak akan mengembalikan apa yang hilang. Kamu harus belajar memaafkan dirimu sendiri dan mencari cara untuk menebus kesalahanmu dengan cara yang lebih baik."

Kata-kata pria itu membangkitkan sesuatu dalam diriku. Saya tidak tahu siapa dia atau dari mana datangnya, tetapi pesan yang dia sampaikan memberikan secercah harapan di hati yang telah lama kosong.

Keesokan harinya, saya memutuskan untuk mencoba memulai hidup baru. Saya mengunjungi pusat rehabilitasi dan mendaftar untuk mendapatkan bantuan. Prosesnya tidak mudah dan penuh tantangan, tetapi saya bertekad untuk berubah.

Saya juga mulai mencari cara untuk membantu keluarga Pak Harun dengan cara yang lebih bermakna. Saya terlibat dalam kegiatan sosial di komunitas kami, menggalang dana untuk keluarga yang membutuhkan, dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.

Perlahan-lahan, kehidupan mulai menunjukkan secercah harapan. Saya masih merasakan rasa bersalah, tetapi saya belajar untuk tidak membiarkannya menghancurkan diriku. Saya memahami bahwa penyesalan adalah bagian dari proses penyembuhan, dan yang terpenting adalah bagaimana saya menggunakan penyesalan itu untuk tumbuh dan berubah.

Tahun-tahun berlalu, dan saya menjadi sukarelawan penuh waktu di berbagai organisasi sosial. Saya membantu orang-orang yang mengalami kesulitan, memberikan dukungan bagi mereka yang membutuhkan, dan berusaha menebus kesalahan masa lalu dengan berbuat baik kepada sesama.

Meskipun rasa bersalah itu tidak pernah sepenuhnya hilang, saya belajar untuk hidup dengannya. Saya memahami bahwa hidup adalah tentang perjalanan, dan setiap orang memiliki kesempatan untuk berubah dan memperbaiki diri. Kehidupan saya yang dulu hancur kini perlahan-lahan bangkit kembali, dan saya bersyukur untuk setiap kesempatan yang diberikan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun