Mohon tunggu...
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis yang berfikir Obyektif dan realitis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perasaan Bersalah

30 Juni 2024   11:29 Diperbarui: 30 Juni 2024   11:48 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata-kata Lisa menusuk hatiku seperti belati. Saya ingin melakukan sesuatu untuk menebus kesalahan itu, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. Saya menawarkan bantuan finansial, tetapi keluarga Pak Harun menolaknya. Mereka tidak ingin uang; mereka ingin keadilan, yang tidak bisa saya berikan.

Rasa bersalah yang tidak kunjung reda membuat saya semakin tenggelam dalam kegelapan. Saya berhenti peduli pada diriku sendiri. Saya tidak lagi memperhatikan penampilan atau kesehatan. Saya mulai mengonsumsi obat-obatan terlarang sebagai cara lain untuk melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan.

Keluargaku semakin khawatir dengan keadaanku. Ibu sering menangis dan memohon agar aku berhenti menyakiti diriku sendiri. "Rian, kamu tidak bisa terus seperti ini. Kami mencintaimu dan ingin kamu sembuh," katanya dengan suara yang penuh harap.

Tetapi saya tidak bisa menerima cinta atau bantuan mereka. Saya merasa tidak layak mendapatkannya. Setiap kali saya melihat ibu atau ayahku, saya hanya melihat rasa sakit yang telah saya sebabkan. Saya mendorong mereka menjauh, semakin mengisolasi diriku dalam kesepian dan keputusasaan.

Suatu malam, dalam keadaan setengah sadar akibat obat-obatan, saya berjalan tanpa tujuan ke jalan tempat kecelakaan itu terjadi. Di sana, di tempat yang menjadi saksi bisu kehancuran hidupku dan keluarga Pak Harun, saya jatuh berlutut dan menangis. Tangisan yang keluar adalah campuran dari penyesalan, rasa sakit, dan kerinduan untuk memperbaiki semuanya.

Saat itulah saya merasakan kehadiran seseorang di dekatku. Saya mendongak dan melihat seorang pria tua dengan janggut putih. Wajahnya mengingatkanku pada Pak Harun, tetapi ada kelembutan dan pengertian dalam tatapannya.

"Anak muda, hidup ini penuh dengan kesalahan dan penyesalan," katanya dengan suara yang lembut. "Tetapi menghancurkan dirimu sendiri tidak akan mengembalikan apa yang hilang. Kamu harus belajar memaafkan dirimu sendiri dan mencari cara untuk menebus kesalahanmu dengan cara yang lebih baik."

Kata-kata pria itu membangkitkan sesuatu dalam diriku. Saya tidak tahu siapa dia atau dari mana datangnya, tetapi pesan yang dia sampaikan memberikan secercah harapan di hati yang telah lama kosong.

Keesokan harinya, saya memutuskan untuk mencoba memulai hidup baru. Saya mengunjungi pusat rehabilitasi dan mendaftar untuk mendapatkan bantuan. Prosesnya tidak mudah dan penuh tantangan, tetapi saya bertekad untuk berubah.

Saya juga mulai mencari cara untuk membantu keluarga Pak Harun dengan cara yang lebih bermakna. Saya terlibat dalam kegiatan sosial di komunitas kami, menggalang dana untuk keluarga yang membutuhkan, dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.

Perlahan-lahan, kehidupan mulai menunjukkan secercah harapan. Saya masih merasakan rasa bersalah, tetapi saya belajar untuk tidak membiarkannya menghancurkan diriku. Saya memahami bahwa penyesalan adalah bagian dari proses penyembuhan, dan yang terpenting adalah bagaimana saya menggunakan penyesalan itu untuk tumbuh dan berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun