Mohon tunggu...
inas muhammad
inas muhammad Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa FISIP Universitas Airlangga

seseorang induvidu bebas yang ingin berkreasi lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Policy Brief dalam Pelaksanaan PSBB di Tengah Adanya Pandemi Covid-19

6 Mei 2020   17:08 Diperbarui: 6 Mei 2020   17:08 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak infeksi kasus pertama COVID-19 secara resmi diumumkan Presiden Joko Widodo, 2 Maret 2020, sebulan kemudian, angka penderita sudah mencapai lebih dari 2000 orang, dengan kemungkinan akan terus bertambah. Berbagai prediksi menunjukkan bahwa penyebaran COVID-19 di Indonesia masih kan menuju puncaknya sekitar April-Mei 2020, dengan prediksi penderita mencapai puluhan ribu.

Mencermati perkembangan pandemi yang semakin tidak terkendali, Presiden Joko Widodo menetapkan COVID-19 sebagai bencana wabah nasional, pada 14 Maret 2020. Penetapan ini diikuti dengan sejumlah kebijakan, antara lain penetapan kelembagaan dan penanganan wabah kerangka tanggap darurat bencana di bawah kendali BNPB, dan yang terakhir Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kebijakan alokasi keuangan untuk menangani wabah maupun untuk mengurangi dampak sosial-ekonomi COVID-19.

Namun, keluarnya berbagai kebijakan tersebut tidak serta merta membuat penanganan COVID-19 terkelola dengan baik, bahkan berbagai macam persoalan baik dari sisi substansi kebijakan, kelembagaan, maupun sumber daya yang dibutuhkan untuk implementasi terus bermunculan. Krisis COVID-19 melahirkan krisis kebijakan yang kompleks.

Penyebab kompleksitas persoalan ini bisa diurai sebagai berikut: kebijakan respon awal wabah yang salah, pesan kebijakan yang tidak jelas, koordinasi dan sinergi antar aktor kebijakan yang lemah, serta kurangnya kesiapan menghadapi bencana (disaster preparedness) baik dalam aspek sumber daya maupun infrastruktur.

Dari yang awal masih merememehkan, dan dilanjutkan adanya kebijakan yang hanya berupa himbauan menjaga jarak aman pada setiap orang di berbagai tempat yang disebut physical distancing. Sampai diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dimulai dari DKI jakarta dan sekitarnya, daerah lain juga berbondong bondong untuk mengikuti jejak Jakarta untuk menerapkan PSBB. Ada beberapa poin penting yang untuk dikritisi dan masukan dalam penerapan PSBB ini.

Pertama, Kebijakan PSBB yang dinilai terlalu birokratis. Menelisik terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar, bahwa tata cara menerapkan PSBB yang harus dipenuhi kepala daerah terlalu birokratis. Karena harus meminta izin kepada Kemenkes dengan segala persyaratannya.

Menurut pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, "Tata cara menerapkan PSBB itu terlalu birokratis. Jadi penetapan psbb harus izin dulu ke Kemenkes, nanti Kemenkes akan mereview akan diijinkan atau tidak. Aneh sekali menurut saya, bagaimana mungkin memerangi covid-19 dengan cara yang sangat birokratis," katanya dalam akun youtube pribadinya pada Kamis (09/04/20).

Ia juga menyebutkan bahwa seharusnya kepala daerah diberikan kewenangan untuk menerapkan PSBB. Akan tetapi, dalam waktu dekat harus melapor ke pemerintah pusat melalui Kemenkes sembari memberikan data dan fakta di daerahnya. Padahal memerangi wabah ini sama saja bergelut dengan waktu, jika terlambat sedikit bukan tidak mungkin keadaan akan semakin memburuk.

Kedua, Kebijakan kebjakan yang dibuat dinilai masyarakat umum terlalu berbelit belit. Tidak jelasnya pesan kebijakan diperparah dengan miskinnya koordinasi antar lini pemerintahan serta tidak nampaknya sinergitas sebagai unsur penting pengelolaan krisis.

Kelemahan koordinasi dan tidak adanya sinergi berdampak nyata pada fragmentasi penanganan baik diantara institusi pemerintahan pusat, maupun daerah. Nuansa yang kemudian muncul adalah politisasi atas situasi krisis COVID-19. Meskipun pada akhirnya Presiden mengeluarkan kebijakan yang lebih tegas, namun menciptakan kembali sistem koordinasi dan sinergi yang sudah tercerai pada tahap respon awal bukan hal mudah.

Ketiga, Kebijakan PSBB dinilai mengurangi pemasukan ekonomi bagi masyarakat bawah atau berpenghasilan harian. Dengan diberlakukannya PSBB otomatis kegiatan sosial masyarakat akan dibatasi sehingga dampak yang paling tinggi kena dampaknya adalah masyarakat berpenghasilan harian.

Pemerintah dalam melaksankan PSBB juga harus memperhatikan kondisi masyarakat luas apabila penerapan PSBB ini diperpanjang, dalam hal ini pemerintah daerah dan juga pusat yang menerapkan PSBB sudah berkoordinasi untuk membagikan bantuan sosial ekonomi berupa sembako kepada masyarakat yang ada pada zona PSBB. Namun menurut masyarakat luas pemerintah masih belum membagikan buantuan yang merata disetiap wilayah.

Hal ini menjadi krtikan tersendiri bagi koordinasi dan kinerja pemerintah dalam menghadapi dampak diberlakukannya kebijakan PSBB ini. Akibatnya, banyak masyarakat kelas bawah (miskin) atau berpenghasilan harian kelaparan dan nekat untuk berjualan diluar demi bertahan hidup. Buruknya koordinasi ini akan berdampak jauh lebih menghancurkan, karena mempertaruhkan nilai-nilai keselamatan dan kemanusiaan.

Keempat, Penerapan PSBB dianggap masih belum diterapkan semua lapisan masyarakat. Menurut Ketua Ombudsman Jawa Timur, Agus Widiyarta. Pemerintah tidak konsisten dalam melaksanakan PSBB. Menurutnya aturan aturan yang ada pada PSBB lebih menitikberatkan kepada pemaksaan kepada masyarakat untuk pembubaran diri. Sedangkan pada pemerintah hampir setiap hari mengumpulkan orang untuk rapat atau sekedar mengadakan acara seremonial semata.

Mirisnya secara tidak langsung pemerintah melanggar sendiri kebijakan yang dibuatnya sendiri. Menurut pengajar Hukum Tata Negara Unair, Herlambang Wiratraman menyebutkan bahwa apabila peraturan tersebut dibuat untuk dilaksankan oleh semua lapisan masyarakat sepantasnya pemerintah juga ikut melaksanakan aturan tersebut, memberi contoh yang baik bagi publik untuk mematuhinya, bukannya melakukan hal yang berlawanan dari kebijakan yang dibuatnya sendiri.

Rekomendasi

Pertama, Sistem Koordinasi Rutin dan Sinergi Antar Aktor. Penerapan PSBB ini membutuhkan kerja kolektif yang melintasi sekat-sekat kementerian, sektor, dan level pemerintahan, dan juga aparat keamanan (POLRI dan TNI). Hal terpenting dalam membangun sistem koordinasi dan sinergi yang kokoh adalah menempatkan krisis ini sebagai common agenda yang dilepaskan dari ego sektoral dan kepentingan kepentingan jangka pendek yang bersifat kelompok maupun personal.

Pengembangan sistem koordinasi dan sinergi bisa dikendalikan oleh BNPB yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden, sebagaimana amanat UU Kebencanaan. Dengan bantuan dari berbagai lembaga yang terlibat dalam penerapan PSBB ini untuk memutus rantai penyebaran virus korona. Dengan adanya sistem koordinasi dan sinergi ini, maka fragmentasi kebijakan dan respon atas krisis akan bisa diredam, sehingga implementasi kebijakan menangani COVID-19 akan berada dalam langgam yang lebih kurang sama.

Kedua, Adanya Koordinasi Sinergi dan Ketegasan dalam Kebijakan PSBB. Diperlukannya koordinasi dalam kebijakan ini diharapakan masyarakat luas mampu untuk bersinergi dengan pemerintah dan juga berbagai lembaga terlibat dalam penerapan PSBB ini sehingga dapat memutus rantai penyebaran virus korona tersebut. Danjuga adnya poin ketegasan untuk menindak masyarakat yang tidak manaati kebijakan yang telah diberlakukan.

Ketiga, Pengkajian ulang terhadap mekanisme pengajuan kebijakan PSBB. Menelisik terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar, bahwa tata cara menerapkan PSBB yang harus dipenuhi kepala daerah terlalu birokratis. Karena harus meminta izin kepada Kemenkes dengan segala persyaratannya.

Seperti yang diketahui bahwa apabila negara menghadapi situasi genting atau adanya kondisi yang darurat adanya perang, pandemi, dan lain lain, memungkinkan untuk membuat kebijakan yang difokuskan untuk menyelamatkan umat manusia, meskipun kebijakan tersebut dapat bertentangan dengan hukum yang ada di UU, apabila kondisi harus demikian maka hukum dapat di pass (landasan hukum yang bertentangan dengan kebijakan dapat dilewati dikarenakan adanya kondisi yang tidak memungkinkan), apalagi mekansime birokrasi harus dihilangkan untuk penerapan PSBB tersebut, hal ini memungkinkan karena birokrasi memakan banyak waktu ditengah kondisi pandemi seperti sekarang, memerangi pandemi ini sama saja bergelut dengan waktu, jika terlambat sedikit bukan tidak mungkin keadaan akan semakin memburuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun