Saya adalah seorang Bupati, yang terpilih dengan modal milyaran rupiah untuk masa bakti 5 tahun. Buat apa uang milayaran rupiah itu? Banyak, untuk mendapatkan rekomendasi agar partai memilih saya bukan sesuatu yang gratis.Â
Untuk menjamu, membuka rumah sepanjang tahun menjelang Pilkada bukan tanpa biaya, untuk membuat rakyat mencoblos gambar saya di bilik suara pun tak bisa hanya dengan kampanye program belaka.
Kini saya telah menjadi penguasa, menempati sebuah rumah dinas yang disebut Pendopo, berkantor di sebuah gedung megah yang biasa disebut Kantor Bupati. Semua kebutuhan di pendopo dan di kantor sudah siap sedia tanpa saya meminta, mulai kebutuhan rumah tangga, transportasi, komunikasi, bahkan makan pun ditanggung oleh negara. O...ternyata begini rasanya menjadi Bupati.Â
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, saya tidak berbuat apa-apa, karena memang saya tidak tahu apa-apa soal birokrasi. Visi Misi program yang saya kampanyekan kemarin? Saya pun tak tahu apa-apa, karena  Timses yang menyusun. Dalam ketidaktahuan saya, akhirnya saya menjadi tahu tanpa saya harus mencari tahu.
Rumah  dinas saya tidak pernah sepi, para pejabat eselon 2 banyak yang datang dan pergi, ada yang membawa berita ini dan itu, ada yang memberi saran A, B, C, ada yang membawa bingkisan, juga ada yang membawa uang! Saya belajar banyak dari mereka. Semua mengalir seperti air, tanpa saya meminta semua hal terbuka di depan mata. Semua seperti berlomba untuk mendapatkan perhatian saya.Â
Suatu ketika Kepala Dinas A berkata, "Bapak harus berhati-hati dengan pak Kepala Dinas B ya pak, kabarnya beliau di masa Pilkada yang akan datang ingin mencalonkan diri, makanya sekarang dia menduduki jabatan pada dinas yang membawahi semua Kepala Desa, dengan harapan bisa mempengaruhi mereka."
Kepala Dinas B bilang, "Bapak harus hati-hati dengan Kepala Dinas A pak, dia doyan duit. Suka memanfaatkan nama Bapak untuk kepentingan dirinya sendiri."
Kepala Dinas C, tidak bilang apa-apa, hanya mengenalkan seorang pejabat eselon IV, katanya,"Pak, saya ke sini bersama pak Adi, dia Kasubid di Dinas Z dan sebenarnya kompetensinya cukup memadai untuk naik ke eselon 3." Di atas meja sengaja pejabat tersebut meninggalkan sebuah map yang di dalamnya ada amplop dan tentu saja isinya uang jutaan.
Kepala Dinas D datang, membawa uang dan bilang bahwa ini uang sisa anggaran kegiatan. Kegiatan sudah dilaksanakan katanya dan masih ada sisa, daripada dikembalikan ke kas daerah lebih baik digunakan bersama karena ada banyak kegiatan yang tidak dianggarkan tetapi harus dibiayai, itulah sebabnya harus ada dana 'non budgeter'.
Besoknya lagi saya kedatangan pejabat eselon 2, kali ini bersama seorang pengusaha, dan lagi-lagi pulangnya meninggalkan sebuah map berisi amplop yang di dalamnya uang tentu saja.
Begitulah, tanpa saya minta semuanya mengalir lancar. Saya belajar, saya memang pembelajar yang cepat apalagi so'al bagaimana mendapatkan kembali modal yang sudah saya keluarkan untuk menduduki posisi Bupati ini.
Mulailah saya dibantu para pejabat eselon2, 3 dan 4 yang loyal, (loyal kepada saya bukan kepada tupoksi mereka, mereka loyal karena takut saya mutasi atau takut saya copot jabatannya), mengumpulkan kembali modal saya.Â
Caranya? Ada 1001 jalan menuju Roma, ada 1001 cara menumpuk kekayaan dari birokrasi. Mulai dari desa, saya minta para Kepala Desa memberi upeti secara rutin, toh mereka memperoleh Dana Desa yang jumlahnya milyaran.Â
Dari Kecamatan, di sana ada UPT Pendidikan, ada Puskesmas, ada Camat yang juga harus memberi upeti untuk kelangsungan jabatan mereka. Demikian pula di tingkat Kabupaten.Â
Dan bukan itu saja, masih ada mutasi, rotasi, promosi jabatan yang dapat saya mainkan, masih ada pengusaha yang dapat diiming-imingi memperoleh proyek di kabupaten dengan sejumlah imbalan. Bahkan perempuan pun bisa saya dapatkan hanya dengan menjentikkan jari.
Oh...ternyata begini rasanya jadi Bupati, ternyata begitu empuk kursi kekuasaan, ternyata begitu mudah mendapatkan harta dan kekayaan. Aku tak pernah memikirkan visi, misi, program untuk kemajuan rakyat, biarlah itu menjadi ranah Sekda dan para pejabat karier di bawahnya.
AKu hanya ingin menikmati kursi ini, tanpa harus banyak mikir tapi semua keinginanku dapat tersaji, tanah berhektar-hektar sudah kumiliki, rumah dimana-mana aku beli, mobil berderet-deret sudah aku koleksi, dan tentu saja wanita-wanita cantik selalu mengelilingi siap melayani.
Sungguh, sebuah nikmat yang luar biasa yang aku rasakan. Tuhan begitu baik kepada saya, sehingga semua hal dapat kumiliki, tahta membawaku mempunyai harta yang banyak dan bahkan wanita. Semua ini seperti mimpi.Â
Dan aku  terbangun dari mimpi ketika borgol KPK melingkari tanganku, rompi oranye yang menempel di badanku, banyak kamera menyorotku, para wartawan merubungku bertanya berdengung seperti lebah, seluruh televisi memberitakan penangkapanku, katanya aku korupsi proyek, disuap oleh pengusaha, duitnya ada di dua kardus bekas televisi 45 inch.
Aku limbung, linglung, apakah penangkapanku hanya mimpi? atau kekuasaanku yang yang hanya ilusi? Aku pingsan tak sadarkan diri. Dan kembali tersadar, ketika aku sudah di balik jeruji besi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H