Mulailah saya dibantu para pejabat eselon2, 3 dan 4 yang loyal, (loyal kepada saya bukan kepada tupoksi mereka, mereka loyal karena takut saya mutasi atau takut saya copot jabatannya), mengumpulkan kembali modal saya.Â
Caranya? Ada 1001 jalan menuju Roma, ada 1001 cara menumpuk kekayaan dari birokrasi. Mulai dari desa, saya minta para Kepala Desa memberi upeti secara rutin, toh mereka memperoleh Dana Desa yang jumlahnya milyaran.Â
Dari Kecamatan, di sana ada UPT Pendidikan, ada Puskesmas, ada Camat yang juga harus memberi upeti untuk kelangsungan jabatan mereka. Demikian pula di tingkat Kabupaten.Â
Dan bukan itu saja, masih ada mutasi, rotasi, promosi jabatan yang dapat saya mainkan, masih ada pengusaha yang dapat diiming-imingi memperoleh proyek di kabupaten dengan sejumlah imbalan. Bahkan perempuan pun bisa saya dapatkan hanya dengan menjentikkan jari.
Oh...ternyata begini rasanya jadi Bupati, ternyata begitu empuk kursi kekuasaan, ternyata begitu mudah mendapatkan harta dan kekayaan. Aku tak pernah memikirkan visi, misi, program untuk kemajuan rakyat, biarlah itu menjadi ranah Sekda dan para pejabat karier di bawahnya.
AKu hanya ingin menikmati kursi ini, tanpa harus banyak mikir tapi semua keinginanku dapat tersaji, tanah berhektar-hektar sudah kumiliki, rumah dimana-mana aku beli, mobil berderet-deret sudah aku koleksi, dan tentu saja wanita-wanita cantik selalu mengelilingi siap melayani.
Sungguh, sebuah nikmat yang luar biasa yang aku rasakan. Tuhan begitu baik kepada saya, sehingga semua hal dapat kumiliki, tahta membawaku mempunyai harta yang banyak dan bahkan wanita. Semua ini seperti mimpi.Â
Dan aku  terbangun dari mimpi ketika borgol KPK melingkari tanganku, rompi oranye yang menempel di badanku, banyak kamera menyorotku, para wartawan merubungku bertanya berdengung seperti lebah, seluruh televisi memberitakan penangkapanku, katanya aku korupsi proyek, disuap oleh pengusaha, duitnya ada di dua kardus bekas televisi 45 inch.
Aku limbung, linglung, apakah penangkapanku hanya mimpi? atau kekuasaanku yang yang hanya ilusi? Aku pingsan tak sadarkan diri. Dan kembali tersadar, ketika aku sudah di balik jeruji besi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H